Merapat ke Tengah? Maksudnya?
Maksudnya adalah saya mau ke seputaran Jawa di bagian tengah (yolo)
Dimulai dari......... Yogyakarta!
Yeah! 2015 menjadi istimewa karena saya berkesempatan untuk kembali ke Kota Pelajar ini yang konon katanya dari sinilah leluhur saya berasal. Ish, enggak konon katanya sih, tapi memang begitu, namun sayangnya saya sudah tidak pernah lagi mudik ke sini karena memang kakek-nenek sudah lama merantau ke Jakarta.
Jadi, yang namanya Fanya nggak pernah pulang kampung, jadinya pulang ngota? Iyedah terserah hihihi.
Berangkat ke Jogja tanggal 27 Juli malam dengan KA Progo keberangkatan Stasiun Pasar Senen Jakarta menuju Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Saya berangkat sendiri. Iya, sendiri! Dapat dikatakan inilah perjalan antar kota terjauh yang saya lakukan betul-betul seorang diri (ya sama penumpang lainnya sih, tapi saya nggak kenal). Kereta saya diberangkatkan pukul 22.30 di bulan Ramadhan. Di gerbong yang saya naiki waktu itu, isinya kalau boleh saya katakan ya.....didominasi oleh sesama mahasiswa yang memang mau kembali ke tanah asal, dan pada waktu itu kebanyakan dari para mahasiswa ini adalah mahasiswi IPB. Selain mahasiswa yang mau pulkam, banyak juga para pendaki gunung bersama carrier-carriernya yang sukses bikin saya iri karena memang sejauh ini belum juga dapat lampu hijau untuk naik gunung (sementara lampu hijau untuk nikah sudah ada letupannya pun saya belum punya pacar - curhat, maafkan).
Entah karena saya sudah beranjak dewasa atau karena sudah jadi mahasiswa yang banyak kerjaan (baik jelas maupun tidak jelas) sehingga saya betul-betul dapat memanfaatkan waktu selama di perjalanan dengan tidur nyenyak. Tanpa kata bosan atau gusar karena khawatir bokong akan menipis. Terbangun sih wajar, tapi langsung tidur lagi dengan cepatnya. Oh, waktu sahur saya juga terbangun karena petugas dari Resto KA mulai menyusuri gerbong-gerbong menawarkan menu sahur. Nah, di sini saya terbangun namun susah tidur lagi: aroma nasi goreng yang jadi menu sahur favorit para penumpang di gerbong saya sukses mengusik saya, terlebih karena perut jadi ikutan lapa, hahahaha.
Tidak, Fanya, tidak, kamu tidak perlu makan di pagi-pagi buta kalau tak berpuasa. Kalau makan, pastilah pagi harinya pun akan sarapan lagi. Kapan kurus? Kapan? Kamu ngantuk bukan lapar. Tidur bukan makan. Tidur... tidur.....tiiiiduuuuuuuurrrrrrrr......................!
Sambil terus berusaha memejamkan mata, saya membaca ajian di atas untuk mensugesti diri saya sendiri agar lekas kembali ke dunia mimpi. Selanjutnya? Tidur lagi, bahkan jauh lebih pulas karena udara subuh yang dingin membuat saya tambah meringkuk. Untungnya penumpang yang berbagi kursi dengan saya turun duluan (entah di stasiun mana). Begitu saya sadar bahwa tinggal saya yang menguasai kursi tersebut, sukseslah saya tidur berselonjor sambil meringkuk memeluki ransel. Nikmat sekali rasanya karena leher akhirnya tidak pegal lagi, pun badan lumayan bisa ngulet-ngulet dan rileks. Tau-tau kaki saya ditepuk-tepuki oleh petugas kebersihan kereta.
"Mbak, Lempuyangan, Mbak, sudah di Lempuyangan ini. Bangun, Mbak!"
Kejadian tersebut asli saya alami. Epic. Mirip di sinetron atau film-film kisah pengembara yang tertidur di perjalanan saking lelahnya mengarungi daratan yang terlalu luas hingga ia tak sadar telah sampai di tanah tujuannya sehingga menuai iba dari orang lain yang segera membangunkan. Ih, maafkan saya agak norak.
|
Barulah saya tahu bahwa antara Jakarta-Jogja lebih jauh ketimbang Bandung-Jogja.
Enakan tinggal di Bandung ya, kalau mau ke Jogja lebih dekat!
29 Juni 2015, 07:00. Selamat pagi, Jogja! |
Kali pertama yang saya pikirkan begitu kaki memijak peron stasiun adalah: toilet! Tapi yang dituju malah warung-warung penjaja makanan di stasiun (yang meski bulan Ramadhan tetap buka)- nyari teh manis hangat. Kereta ekonomi lintas kota dan provinsi sekarang makin wah, bahwa AC bukan lagi suatu hal yang membuat kereta kelas eksekutif menjadi lebih spesial dibandingkan dengan kelas ekonomi. Gerbong saya bahkan AC-nya mantap sekali
semriwingnya ditambah lagi saya cukup alay untuk menghadapi udara AC - gampang sakit! Bisa flu, bisa kembung enggak karuan. Teh manis hangat kala itu dirasa sudah paling benar untuk menyembuhkan saya dari sindrom kealayan AC-nya Fanya.
Selepas menyeruput habis teh manis yang saya beli dengan harga Rp3000,- , barulah saya mencari-cari teman saya: Sazka. Nisazka Syaula, anak kelahiran 1997 yang cukup enggak tahu diri cerdasnya karena sudah jadi mahasiswa ITB angkatan 2013 - seangkatan sama saya hiks. Sazka yang berangkat dari Bandung sudah sampai sekitar pukul 05:30, memang sudah selayak dan sepantasnya untuk sampai duluan di Lempuyangan ini. Benar saja, Sazka sudah asyik duduk-duduk ngantuk di ruang tunggu di depan loket tiket (ruang tunggu di luar stasiun). Bersama-sama kami menunggu kedatangan Jay dan Zakki dari Wates yang hendak menjemput kami untuk diboyong ke daerah Kota Gede yaitu ke rumah teman kami yang lain yaitu Erma. 15 menit sejak kedatangan saya di Lempuyangan, datanglah perjaka-perjaka yang kami nantikan. Setelah menyapa dan berpeluk kangen seadanya, kami lekas meninggalkan Lempuyangan.
Jadi, siapakah sesungguhnya Sazka, Zakki, Jay, dan Erma itu?
---bersambung---