14.7.15

Tiga Belas Juli

Hari ini, 13 Juli 2015.
Pukul lima sore tadi, ada pengumuman penerimaan mahasiswa baru UI untuk tahun akademik 2015/2016. Saya rasa, ini adalah pengumuman terakhir dari seluruh rangkaian jalur yang ada untuk masuk ke UI, untuk jenjang S1 maupun D3.

Saya juga dulu masuk UI lewat jalur SIMAK tahun 2013. Lagi-lagi saya melihat kata "SELAMAT" di website pengumuman setelah saya masukkan nama lengkap dan nomor pendaftaran. Saya tersenyum.

Lalu di bawahnya ada tulisan "Vokasi", selanjutnya ada tulisan "Fisioterapi".

Saya jadi kembali teringat, tertarik mundur ke masa 'buka pengumuman SIMAK'. SIMAK UI 2013 diumumkan tanggal 19 Juli, bukan 13 Juli. Hari Jumat, bukan hari Senin. Pukul delapan pagi, bukan lima sore. Entahlah, nampaknya bagi saya hari Jumat lebih keramat bila dibandingkan dengan hari Senin. Lebih barokah, apa mungkin karena pengaruh adanya ibadah mendirikan shalat Jumat - saya tidak tahu. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dahulu jatuh di hari Jumat, konon katanya Bung Karno yang sudah diculik dari semalam sebelumnya memang bersikeras menunggu fajar terbit hingga datanglah hari Jumat itu; hari baik, untuk mendirikan negaranya, untuk memulai sesuatu dengan niatan amat baik sebulat hati. Untuk hal ini, saya dapat dari khotbah misa waktu 17 Agustus 2008 dari seorang Romo di Bandung. Tapi tenanglah, kawan, keduanya sama-sama diumumkan saat bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, bukan? Jujur untuk hal ini saya cuma bisa tahu dari iklan-iklan di televisi, terutama dari iklan sirup merah dan hijau yang segar itu, tapi saya percaya, kok, Ramadhan adalah bulan penuh berkah.

Kembali ke 19 Juli. Tahun 2013, ya, yang tahun ini, kan, masih nanti, 6 hari-an lagi.

Membuka pengumuman SBMPTN 2013 saya lakukan di kamar tidur saya, meskipun tidak sepenuhnya benar, karena toh saya minta dibukakan lebih dulu oleh kakak saya dari Jakarta. Untuk SIMAK, saya buka di depan Gedung Sate, Bandung. Momentual sekali? Tidak, saya tidak bermaksud sengaja demikian. Namun memang ada kegiatan juga yang seharusnya dilakukan dengan gembira. Seharusnya.

Kalau boleh bercerita, saya pernah membuat janji untuk bertemu di depan Gedung Sate pada seseorang. Di hari Jumat yang tanggal 19 Juli itu. Pukul tujuh pagi. Rumah saya yang saat itu memang masih di Kota Cimahi mau tidak mau menghendaki saya untuk pergi meninggalkan rumah seminimal-minimalnya pukul enam kurang lima belas. Saya sudah meminta izin dari 14 Juli 2013, kepada ibu saya. Tentu ia mencak-mencak, ngapain sih anak perempuan pergi kok nyamperin yang laki-laki, begitu katanya.

"Kok main jauh-jauh, sepedahan lagi, minta jemput aja, makan siang saja itu, di Cimahi Mall, atau di mana kek, kalau kamu memang mau mentraktir dia makan dalam rangka syukuran dapat kuliahan!"

Bukan mau traktir makan, Bu, aku mau main sepeda bersamanya.

"Pengumuman UI mu kapan?"
"Hari yang sama, Bu."
"Tuh, kan, kamu ini kok bisa-bisanya memikirkan pergi main, bukankah kita sudah sepakat, kalau kamu tidak lolos, kamu akan segera ke bank untuk membayarkan biaya daftar ulang untuk UNPAD?"

"Jangan hari itu lah, Dik, hari lain saja, bilang seperti itu sama dia!"

Tapi dia maunya hari itu.


Kenapa, sih, Dik, apa-apa maunya dia terus yang dituruti. Segitu sukanya apa sama dia?

Jangan menatapku seperti itu, Ibu.

Jangan memohon-mohon seperti itu, menempatkan dirimu sendiri di posisi sulit. Berapa kali lagi kamu akan pulang dengan menangis sehabis bermain dengannya, Dik?



Ibu bilang jangan, ya? Dik?

Tapi, kita nggak pernah tahu, Bu, kapan saya ketemu lagi sama dia. Kita nggak pernah tahu. Kami juga nggak pernah tahu.

"Terserah kamu, Dik, kamu sudah tahu, kok, cara membereskan semuanya!"

Ya, siap! Aku bisa, kok, aku pintar menyusun waktu. Aku pintar, Bu, toh menurun darimu juga.


Pada waktunya, aku bangun pagi-pagi sekali dengan bersemangat. Sayang, niatanku untuk mengendap-endap pergi gagal sudah. Ibuku sedang menggoreng nasi saat aku selesai mandi. "Setidaknya sarapan dulu, lalu biar nanti diantar Bapak ke tempat Septi, nanti kalau sudah selesai bermain minta jemput lagi sama Bapak. Kalau jadi ke bank, biar pergi sama Bapak."
***
Saya diturunkan di depan Rumah Sakit Santo Borromeus.

"Septi sudah datang?"

"Katanya, sih, lagi di jalan. Mungkin sebentar lagi, kan dekat."

"Okay, nanti telepon Bapak, ya, kalau sudah selesai." Kemudian ayahku berlalu. Kemudian aku berbalik, dan berjalan kaki. Menuju rumah Septi. Mana ada Septi yang ke sini, bawain sepedanya, aku tadi bohong. Saat itu Septi sedang ikut kerja sama tantenya di kantor pusat statistik. Septi dan aku sudah membuat perjanjian, bahwa pukul setengah tujuh pagi aku mau pinjam sepedanya, dan Septi juga berjanji bahwa ia meminjamkannya dan menitipkan segala urusannya pada ibunya. Dan budenya. Saya cukup menemui mereka saja.

Janji tertepati.
"Tapi, Neng, ini gembos sedikit. Septi juga nggak ngecek," ibunya Septi menyerahkan sepedanya kepadaku. Kulihat, jam sudah menunjuk ke setengah tujuh lebih lima.

"Itu di depan, ada tukang angin."

"Iya, ada, tadi saya lewatin. Udah buka juga, kok. Terima kasih ya, Bu."

"Oh, alhamdullillah kalau gitu mah. Mau main sepeda kemana sih emangnya teh?"

"Gedung Sate"

"Udah aja?"

"Belum tahu lagi nanti ke mana, saya sama teman, hehe."

"Oh ya ya, hati-hati ya, Neng."

"Nanti kalau sudah selesai, saya langsung ke sini. Sekalian mau ketemu Septi kalau sudah pulang."

"Iya Septi mah pulangnya masih siang."

"Jalan dulu ya, Bu."

"Hati-hati ya Neng." Aku jadi merasa tidak enak karena dilepas ibunya Septi dengan tatapan iba untukku, yang menuntun sepeda lama anaknya ke tukang pompa ban. Aku tidak enak karena merasa bahwa ibu Septi tidak dapat meminjamkan sepeda anaknya dalam kondisi baik. Ya, aku jadi tambah merasa bersalah membuat ibunya merasa tidak enak padaku, padahal aku yang merepotkan karena pagi-pagi sudah ketuk pintu.
***

"Lagi puasa olahraga, ga capek, Neng?" tanya tukang pompa ban sesaat setelah selesai mengencangkan pentil ban belakang sepeda Septi.

"Belum juga dikayuh, ya belum tahu capek apa engga, Mang. Hehehe."

"Hehehehe. Main ke mana emangnya?"

"Gedung Sate aja."

"Oh, deket, cuma teh masih rame mobil ga pas nyebrangnya," ia menerima uang yang kubayarkan, "eh tapi bulan puasa mah meureun sepi, da udah peré sakola gé."

"Nuhun, Mang." Segera kunaiki sepeda Septi dan mulai kukayuh. Ringan, ringan habis dipompa bannya terasa sekali. Kulewati kembali rumah Septi yang berseberangan persis dengan Graha Sanusi Hardjadinata yang ada di kompleks UNPAD Dipati Ukur, gedung yang menjadi tempat para jebolan UNPAD digeser pita toganya oleh sang rektor. Kakakku, Mbak Fina, juga diwisuda di situ. Waktu aku tidak bisa masuk karena undangan hanya untuk 2 orang (asumsinya untuk orang tua wisudawan/i saja), aku main-main di temat Septi. Sepeda yang kukayuh terus melaju, bahkan semakin cepat tanpa usaha yang sengaja ditingkatkan, karena jalanan memang menurun. Saya merasa pagi itu semesta mendukung sekali, karena saya akan menemuinya tak perlu dengan wajah lelah yang berpeluh.

Hampir tujuh lebih sepuluh, saya melirik jam di tangan kiri saya saat melewati jalanan di depan Telkom. Sekitar 500 meter lagi, maka saya akan sampai. Radius 30 meter dari kejauhan saya memicingkan mata ke arah tangga-tangga Lapangan Gasibu yang menghadap persis ke Gedung Sate. Ada sekitar 3 orang, 2 laki-laki, 1 perempuan, tak ada satu pun yang membawa sepeda. Hidung saya mulai mengembang dan mengeluarkan suara seperti dengusan - ya seperti dengusan, karena saya benar-benar tidak mau kesal, perasaan sebal hanya akan merusak pagi; pagi yang telah disepakati untuk menjadi pagi yang indah. Toh, saya pun terlambat.

Saya menaikkan sepeda ke trotoar, memarkirkannya dekat saya duduk di anak tangga, dan kaki saya segera diselonjorkan. Satu perempuan sedang duduk bersama satu laki-laki, perempuan itu sedang menelepon dan sedikit berteriak-teriak kepada yang di seberang saluran. Laki-lakinya sibuk menstarter motor yang juga di atas trotoar, agak sedikit mogok tapi syukurlah lekas menyala. Laki-laki yang lain yang kulihat dari kejauhan rupanya seorang tuna wisma yang kurasa kurang waras, terlihat dari rambutnya yang panjang gimbal sekali, pakaian compang camping, ia sedang tertidur. Jantungku jadi berdegup, takut-takut kalau ia bangun nanti, segera 'menerkamku'; entah memukul, atau memeluk? Atau melempariku dengan batu, atau malah menelanjangi dirinya di hadapanku, oh tidak itu seram sekali, belum lagi aku takut dia akan menyerang dengan meludah atau mengencingi.

Ya Tuhan, lindungilah aku, sepenggal doaku begitu di dalam hati.

Mengamat-amati sekitar (dan berkhayal diserang orang gila) seperti itu ternyata hanya membunuh sedikit waktu. Masih tujuh lebih lima belas, tapi jarum panjangnya nampak geser sedikit dari angka 3, lebih dua sampai tiga strip. Kulempar pandanganku ke sisi kiriku. Kemungkinan besar dia datang dari sana. Mungkin. Tapi besar, kok, kemungkinannya. Aku mula meyakin-yakinkan diri.

Sampai setengah delapan aku hanya menonton kendaraan yang ramai berseliweran di jalanan di hadapanku. Jam delapan nanti pengumumanku bisa diakses online. Pasangan suami istri yang motornya tadi sedikit mogok sudah pergi dari tadi. Orang gila yang tadi tidur juga tanpa kusadari sudah tidak di tempatnya lagi, entah dia pergi berjalan ke mana, yang jelas ia pergi tanpa menyerang. Angin pagi meniup, sedang matahari masih malu-malu muncul, udara khas Bandung mulai menelusup, dan saya tidak pakai jaket. Padahal sudah setengah delapan. Sambil menggosok-gosokkan tangan saya putuskan berdoa rosario. Kayaknya waktu akan terlewati tanpa betul-betul terasa dengan berdoa panjang macam rosario, pikirku. Saya memang sering berosario untuk mempersingkat waktu dalam menunggu, waktu mau dioperasi untuk pertama kalinya, satu jam sebelum waktu yang ditetapkan saya sudah diboyong ke kamar operasi. Pakaian sudah diganti dengan kain bertali di bagian punggung, seperti baju tapi tidak dijahit, dan itu tipis sekali. Sambil kedinginan  dalam posisi terlentang di atas meja operasi, saya memejamkan mata lalu berdoa, tanpa mengatup tangan. Tangan kiri yang hendak dioperasi sudah diposisikan dan otot-otot saya juga melemah karena sudah 2 minggu lebih tidak bergerak karena dibidai. Tangan kanan juga sudah terpasang infus. Ketika melek, lampu operasi sudah menghadap ke bawah memelototi wajahku. Beberapa saat kemudian terdengar suara dr. Jeff, dokter bedah tulangku, disusul dengan entah itu siapa (perawat atau asisten anastesi, aku nggak tahu) memasangkan sungkup untuk membiusku.

Pagi itu dingin tapi saya tidak kedinginan. Tidak juga terlentang di meja operasi. Tapi saya juga berdoa rosario. Memohon supaya nanti pengumumannya tidak membuatku bersedih, dalam artian kalau lolos ya bahagia dan minta dibikin tidak jumawa, tidak lolos ya minta dibesarkan hatinya dan siap masuk ke UNPAD dengan tanpa rasa sesal dan sesak. Juga minta si dia cepat datang. Kututup doaku setelah selesai, dan kulihat dari layar handphoneku supaya langsung yakin pukul berapa: 07.50. Astaga, kurang 10 menit untuk sampai ke pukul delapan. Apa lagi yang mesti kulakukan? Kemudian saya memalingkan wajah ke arah 'berkemungkinan besar dari sana lah ia datang'. Eh, apa dia lupa, ya?

Apa mungkin tidak datang?

Mungkin.

Apa mungkin ia datang dari sana juga mungkin.

Apa mungkin ia datang?

Mungkin.

Ah, masa iya, kok tega amat sih dia begitu.

Nggak lah, nggak mungkin tega.

Eh tapi bisa aja tega. Mungkin.

Ah, enggak-enggak, palingan lagi di jalan.

Mungkin.

Di sms aja kali ya, apa telepon?

Tapi kan lagi di jalan?

Coba aja lah.

Saya mencoba menghubungi orang yang dimaksud. Satu kali menelepon. Dua kali menelepon. Tidak ada jawaban.

Mungkin handphone di-silent.

Ya mungkin memang masih di jalan.

Mungkin apa memang? Mungkin saja lah.

Bersabarlah, Fanya, jangan jadi orang yang menyebalkan dan memburu-buru, jangan merusak pagi yang disepakati menjadi pagi yang menyenangkan.

Tidak apa-apa menunggu. Tidak apa-apa menunggu.

Sesibuk itulah saya bertanya-jawab, lalu kembali meyakin-yakinkan diri sendiri. Akhirnya saya putuskan untuk counting down untuk lihat pengumuman hasil SIMAK. Hingga akhirnya pukul delapan datang juga, saya akses halaman website via handphone dan sangat menyenangkan websitenya tidak semacet untuk pengumuman SBMPTN. Saya melihat kata "SELAMAT" di website pengumuman setelah saya masukkan nama lengkap dan nomor pendaftaran. Saya tersenyum.

Lalu di bawahnya ada tulisan "Vokasi", selanjutnya ada tulisan "Fisioterapi". Vokasi. Fisioterapi. Vokasi itu D3. Fisioterapi itu ilmu kesehatan. Lalu muncul bayangan Graha Sanusi yang tadi saya lewati. UNPAD. S1. Bukan ilmu kesehatan. UI........... Di bawah pemikiran itu saya menelepon Mbak Fina, yang juga susah di Jakarta.

"Wah selamat ya! Lalu adik mau yang mana?"
"Nggak tahu..."
"Ibu bapak gimana?"
"Apa saja kan memang selalu didukung. Kecuali waktu aku mau pilih ke IKJ atau masuk Filsafat UI atau Filsafat UNPAR."
"Ya sudah, dipikirkan saja, semalam dulu tunggu."
"Ya tapi kan aku harus bayar UNPAD hari ini."
"Iya juga ya......"


"Tapi sudahlah, dik, pilih yang benar-benar ingin kamu pilih, ya?"
"Ya."
Dari kejauhan tampak sesosok yang senyam-senyum, bertopi, mengayuh sepedanya, menghampiriku.
"Sudah dulu ya, Mbak!"
Klik!


***
"Sebentar ya, minum dulu, capek juga dari rumah."

Aku senyum lebar sekali, tapi belum mau berkata-kata. Tapi aku gembira dia datang.

"Wah dari Cimahi nih? Jago amat!"

Aku senyum sambil menaik-naikan alis. Membuatnya menyampaikan ketidakyakinannya, "Sepeda dari mana sih ini?"

"Dari ada lah pokoknya haha." Senyumku bertambah ceria. Ia mengangguk-angguk dengan senyumnya juga. Aduh, campur aduk hatiku. Memberanikan diri, kubuka percakapan, yang syukurnya disambut dengan semangat. Pembicaraan yang cukup serius, tapi tetap menjaga pagi yang memang disepakati untuk membahagiakan.

"Jadi, Jatinangor nih?"
Aku masih senyum-senyum, "Hm, gimana ya?"
"Jadi jauh dong."
"Jauh apa?"
"Ya," dia mengangkat kepalanya ke arahku, seakan ingin mengganti kata 'kamu/elo/situ' dengan gerakan kepalanya itu, "jadi jauh."
Ia meneguk minumnya lagi, buru-buru, jangan sampai orang-orang yang sedang berpuasa menyadari ia minum.
"Oh itu," aku berusaha nyambung, "aku kuliah di Nangor mah tetep tinggal di Cimahi."
"Iya?"
"Kakak gue juga gitu. Gak dibolehin ngekos."
"Oh, bagus lah."

Kemudian hening menjeda perbincangan kami, disusupi lagi angin yang sejuk. Matahari mulai bisa membentuk bayangan benda-benda dengan pancaran sinarnya. Belum panas, masih haneut moyan walau aku tak tahu apakah itu asih jamnya untuk masa haneut moyan.

Tapi, aku kan mau ke UI.
Eh?
Iya! Aku ke UI. Fanya ke UI. Maria Stefania Kusumastuti ke UI.

"Kalau aku lebih jauh dari itu, gimana?"
"Maksudnya?"
"Kayaknya sih lebih jauh dari itu. Ke Jakarta, mungkin?"
"Oh."

Angin berhembus lagi. Tidak dingin. Tidak sedingin wajahnya. Aku menggigit-gigiti bibirku, mengelupasi kulit-kulit kering di permukaannya. Kuharap aku tidak salah. Kuharap kata-kataku tidak salah. Ya Tuhan, mengapa mukanya jadi kayak gitu? Aku salah kah?

"Lu daftar UI juga?" Sambil memandangi Gedung Sate aku mengangguk mengiyakan.

Hening menjeda.

"Pengumuman kapan?"
"Tadi, jam 8."

Hening menjeda. Agak lebih lama dari yang sebelumnya.

"Trus?"
"Masuk."

Hening menjeda hampir sama dari dua yang sebelumnya.

"Jurusan?"
Fisioterapi.
"Itu S1 apa D3?"
D3.

Dan hening benar-benar hadir di antara kami. Wajahnya bertambah dingin. Saya tak lagi menggigit-gigiti bibir, tapi saya jauh lebih gelisah. Habis ini apa? Habis ini apa? Habislah aku, habis ini aku akan pulang sendiri balik ke rumah Septi.

Hening yang panjang akhirnya ditutupnya sendiri, "ayo mau ke mana?"
"Terserah?"

Dan air muka dari kedua kami tidak ada lagi yang bersemangat. Kami mengingkari kesepakatan kami. Kami merusak pagi. Bermain sepeda tidak lagi menjadi permainan yang mengasyikkan apalagi menyenangkan. Dan bahkan tidak lagi menyehatkan karena memang pada waktu itu rasanya sakit sekali. Bersepeda di belakangnya di saat harusnya kami bisa bersepeda bersisian, sama ketika nonton di bioskop atau waktu duduk berbincang di bawah pohon di GOR Saparua. Sakit sekali ketika awalnya saya sempat memikirkan akan berfoto bersama karena "sudah sama-sama mahasiswa" tapi saat itu saya cuma bisa memotret bayangan saya sendiri, di atas sepeda Septi.


Entahlah, tapi saya ingin sekali menuliskan ini. Sakit sekali rasanya bersepeda di hari itu, ketika ia mulai memilih jalur ke arah sekolah kami, SMA kami, dan hembusan angin Bandung mulai mengantar firasat kepadaku: bahwa ia ingin pulang ke rumahnya. Lalu aku bagaimana? Aku tidak tahu.

Hingga tiba di persimpangan, tepat ketika lampu merah berganti jadi hijau, ia meluncur cepat ke arah rumahnya, berpamit seadanya, tertutup pula ucapannya dengan klakson-klakson kendaraan yang riuh mengusirku; aku yang bengong di atas sepeda dan bingung harus mengejarnya dengan belok ke kanan atau ke kiri langsung pulang kembali ke rumah Septi. Aku diklaksonin orang. Aku ditinggal di lampu merah. Aku bingung. Aku pasti dilihat orang banyak itu. Aku lolos SBMPTN lolos SIMAK UI tapi kok dibodohin gitu aja rasanya? Sakit? Sakiiiiiiiit laaaaaaaaaah.

Segera saya kayuh sepeda saya dengan cepat. Oya, saya belok kiri. Walau jalannya menanjak, saya sama sekali tidak menyesal. Saya tidak mau menoleh ke belakang sedikit pun. Berharap apa? Tidak, tidak berharap kalau nengok masih ada dia. Satu-satunya yang saya harapkan adalah untuk memutar waktu dan tidak membiarkan pernah terjadi apa-apa bersamanya. Memang, kami tidak pacaran, tapi untuk nonton bareng dan makan bareng walau cuma 4-5 kali menurut saya saat itu sudah menjadi apa-apa. Dan perbuatan meninggalkan saya di lampu merah? Tentu itu adalah sebuah 'apa-apa' yang sebenarnya ingin diperhitungkan. Belum lagi sakitnya. Termasuk rasa sakit saya karena menyakiti hati orang lain: hati ibu saya jika mendapati saya menangis lagi bila bersamanya. Hati bapak saya yamg saya bohongi supaya dia tidak khawatir dengan tingkah anaknya sendiri demi bersamanya.

10.7.15

Sembilan Juli

Hari ini pengumuman SBMPTN 2015. Banyak kenalanku yang mengupload foto hasil pengumuman tersebut, baik milik sendiri atau milik adik/anak/kakak/pacar/kerabatnya yang lain di media sosial masing-masing, kebanyakan di Path dan Instagram, yang muncul juga di Facebook karena terintegrasi dengan 2 akun medsos tadi.

Lamunan malam membawaku melesat mundur ke 8 Juli 2013, hari di mana hasil SBMPTN 2013 diumumkan. Kuingat betul di pagi harinya aku pergi ke sekolah untuk cap 3 jari, bercengkerama dengan teman-teman se-SMA yang sudah tidak selengkap beberapa bulan sebelumnya, saling menguatkan dan saling 'mengipasi' rasa 'dag-dig-dug' di masing-masing kami yang sama-sama ikut SBMPTN, tanpa 'ngeh' bahwa kali itu bisa jadi yang terakhir kalinya untuk menikmati sepoi angin yang menembusi dahan pohon nangka depan sekolah yang menyeruakkan wangi nangka matangnya.

Sedari siang hari yang dini sampai menuju siang yang layu kami di situ. Padahal cap 3 jari bukanlah hal yang sebegitunya lama. Kala itu - setelah kuingat kembali kini - juga jadi yang terakhir kalinya aku pulang sekolah bersama sahabat-sahabat 'pejuang angkot'-ku: Nixon, Okta, Evan Cuo, dan Lucky. Jujur, aku lupa apakah Hanna ikut bersama kami di hari itu atau tidak. Yang jelas, meski saat itu masih pukul setengah 3, tidak ada yang mau mengiyakan ajakanku mampir ke Gramedia Jl. Merdeka dulu.

"Pulang, ah, ai sia mau pengumuman!" Menuliskan kalimat langsung seperti ini, aku berusaha mengingat-ingat gaya bicara Cuo, yang meski kalimatnya menggunakan campuran Bahasa Sunda yang kasar, namun aku selalu tahu bahwa tak ada sedikit niat pun dari Cuo untuk benar-benar bersikap kasar. Kuanggap itu sebuah tanda sayang dari seorang sahabat.

Ah! Aku ingat, Hanna juga bersama-sama dengan kami! Bahkan kini aku mulai ingat bahwa sebelum naik angkot Margahayu-Ledeng dari depan Asrama Providentia, kami makan Bakso Rudal "ANGGREK" dulu. Teringat juga bahwa Hanna mau lekas-lekas pulang.

"Nggak mau nambah masalah lagi kalau udah pulangnya lama eh ga keterima...." kurang lebih begitulah argumen penguat untuk penolakan terhadap ajakanku.

Begitu pula dengan Okta dan Lucky, yang juga bilang, "Enggak lah gua mah pulang ajah." Cuma Nixon yang sebelum makan bakso berujar, "yuk lah tapi jangan kesorean, seenggaknya waktu pengumuman udah di rumah. Gitu." -namun baru saja nempelin pantat di kursi angkot Margahayu-Ledeng langsung bilang, "Engg, Nya, aku pulang aja deh, hehe, kamu masih tetep mau ke Gramed?"

Dan hanya saya yang begitu dilontarkan pertanyaan seperti di atas langsung menjawab dengan mantap, "Yap! Nggak pa-pa, kok." lalu di perempatan Jl. Dago-Jl.Riau-Jl. Merdeka mulai ngomong sendiri "Eh, pulang aja gitu yah?" dan 100 meter kemudian di mana seharusnya bilang 'kiri!' supaya bisa turun di depan Gramedia malah diam saja, makanin rambut. Teman-teman yang lain cuma bisa geleng-geleng, ketawa, dan puk-puk pundakku, "udah, Nya, pulang aja sama kita, sampe rumah pas liat pengumuman."

Ingat juga bahwa di sekitar perbatasan antara Kota Bandung dan Kota Cimahi, sekitar pukul setengah 4, jalanan mulai padat dan timbul kemacetan. Terkenang wajah Okta yang panik, takut nggak keburu buka web pengumuman online tepat wakty di rumah sendiri.

"Kan bisa di hape, Ta!"
"Enakan di komputer asaan, mah!"

Saya sendiri sampai di rumah pukul 5 kurang 5 menit. Sementara pengumuman yang dinanti dijanjikan akan beredar pukul 5 tepat. Kala itu ibu saya sudah pulang dari kantor, bapak saya dan mbah (yang pada waktu itu masih hidup) juga ada, hanya kakak-kakak saya yang tidak ada, maklum, mereka sudah bekerja di Jakarta. Padahal, saat itu, rasanya ingin sekali mereka ada di rumah, terbayang membuka hasil pengumuman bertiga, sambil memegangi ujung kaos Mbak Retha atau membelai-belai rambut keriwel Mbak Fina dengan gemas.

Cuci kaki, cuci muka, minum, nyomot lauk makan malam, lalu beranjak ke kamar ibu. Kulihat ibu sedang rapi-rapi mau pergi. Kulihat bapak sudah ongkang-ongkang kaki, rambut sudah kelimis, badannya wangi sabun, duduk manis di depan televisi. Mbah di sampingnya duduk manis juga. "Jam 6 ada ......... di gereja." Aku lupa acara apa yang harus kuisikan di bagian 'titik-titik' tersebut, tak dapat kuingat detil, kurasa itu bukanlah hal yang penting.

"Hari ini pengumuman lho, Bu."
"Ya, bagaimana pengumumanmu, bisa online, kan?"
"Belum kulihat."
"Jam berapa?"
"Jam 5."

Lalu kami berdua sama-sama melongok ke jam dinding, pukul 5 lebih 20 menit. Ibuku pindah menatapku.

"Nanti lah, palingan juga down, tapi aku deg-degan sih," ujarku sambil menggosok-gosokkan kakiku yang dingin karena habis dicuci. Kuambil selimut dan bergelung di kasur ibuku. Kucek Twitter via handphoneku. Kucek di timeline, mana yang lebih banyak, 'duka' apa 'suka' ? Sepuluh menit berlangsung, kebanyakan yang terbaca adalah kurang lebih sebagai berikut: kutahu indah rencana-Mu Tuhan. Lalu diikuti dengan saling mention untuk bertanya "gimana hasilnya?" yang kemudian diikuti dengan jawaban "belum rezekinya" plus tanda titik dua-kurung tutup yang mencerminkan senyuman-paksaan mungkin.

"Bu pergi dulu yah."
"Eh jangan dong, temani lihat hasil SBMPTNku!"
"Ya cepeeeeet! Orang acaranya jam 6!"

Segera kuberlari menuju kamar, buka laptop, menyalakannya, diikuti dengan mencolokkan modem, sambil terus berdoa dan elus-elus dada. Tadi tenang, kok sekarang begini. Padahal tadi mau jalan-jalan dulu, pulang kok malah begini. 

Sial, benar saja websitenya down!

Dan aku semakin panik karena dikejar waktu mengingat ibuku mau pergi sementara aku belum berhasil tahu hasil pengumumannya dan tiba-tiba aku takut sekali ditinggal ibuku. Kepanikan bertambah ketika dering ponselku bunyi memecah kumandang adzan dan suara mesin motor bapak yang siap-siap berangkat.

"Tunggu dulu lah, Bu, takut nih buka sendiri, ih!" Kuraih ponselku dan mengangkat panggilan dari seberang: itu kakakku, Mbak Retha.

"Jadi gimanaaaaa?"
"Down nih web nya, tolong bukakan dari Jakarta."
"Ih males bangeeeeuuuud!"
"TOLONGLAH MBAK RETHA INI IBU MAU PERGIIII!!!"
"Eh terus kenapa ih," kakakku tergelak kecil.
"AKU TAKUUUUUUUUT!"
"YAELAAAAAAAA LEBAY KAAAAAAAAAAN! Buka di mana sih?"
"Ku whatsapp kan alamatnya, dah!"

Pip!

Sedetik kemudian langsung kukirimkan alamat web pengumuman dan nomor peserta SBMPTNku ke kakakku. 60 detik kemudian kuterima balasannya: "Wowowowooowowowo"

Aku yang masih mencoba merefresh berulang-ulang website pengumuman dan sudah hampir mau menjilat-jilat layar laptopku langsung kesal membaca balasan kakakku tersebut.

"Itu artinya apa?"
"Buka sendiri ah di web nya."
"YAHKAN LAGI EROR SITE NYA MBAK RETHAAAAAA."
"Selamet yeee anak nangor!"

Dan bersamaan pula dengan website yang kembali pulih dan berhasil menampakkan hasil pengumumanku, dengan ejaan nama yang baik dan benar, di website itu, ada namaku, di bawah kata 'SELAMAT'

Selanjutnya aku histeris memanggil ibuku, teriak-teriak membuat mbahku kaget dikiranya aku kesurupan di saat Maghrib, dan bapak tergopoh-gopoh meninggalkan motornya yang menyala.

"Sip, ibu pergi dulu yah, udah telat niiih." Satu kecupan mendarat di keningku.
"Selamat ya, Fan, pinteeeer!" Satu kecupan lagi mendarat di keningku. Lalu berlalu lah mereka berdua daripadaku yang masih memelototi laptop.

Satu jam kemudian aku beranjak menemui mbahku.

"Kenapa, Dik, tadi teriak-teriak, sampai kaget...." Mbahku mengelus-elus dadanya.
"Nggak pa-pa, ehe," aku senyum-senyum sambil memijiti pundaknya.
"Kata bapak keterima kuliah, ya? Di mana?"
"Di UNPAD, ehehehehehehe..."
"UNPAD.. Universitas Padjadjaran..... Ooo sama ya kayak Mbak Fina?"
"Iya, tapi ya beda jurusan."

Lalu kami menonton televisi bersama, melihat berita malam, di malam itu. Malam itu pula aku tidur larut sekali karena sibul mengkhayal akan jadi apa jika aku kuliah nanti. Pagi harinya, 9 Juli 2013, setengah enam pagi aku sudah beranjak dari tempat tidurku, lalu menyikat gigi dan menyeka muka, mengendap-endap mengeluarkan motor bapakku kemudian memanaskannya. 10 menit selanjutnya, aku sedang berada di jalanan, mengendarai motor bapak di jembatan Leuwigajah, berusaha menghindari polisi yang berpatroli karena lupa tidak bawa dompet, tidak ada SIM, STNK, dan masih berpiyama dan bersandal jepit, menuju kios koran di daerah Hujung, bermodalkan Rp5000,00, mau beli koran yang mencantumkan nama-nama yang lolos SBMPTN 2013. Mencantumkan namaku, nama sekolah asalku, dan nama unuversitasku.


***

Dua tahun sudah hari itu berlalu. Kini, aku senyum-senyum sendiri, menikmati masa itu dalam kenangan yang membelah malam, membatasi pergantian hari.

Salam,
Stefania

1.7.15

Menyeberang ke Barat

Atas izin Tuhan, akhirnya saya pernah juga menyeberangi Selat Sunda untuk menginjakkan tanah di pulau sebelah barat Jawa; Sumatera.

Sejak dahulu, saya selalu merasa bahwa Sumatera itu tanah Batak, Batak itu Sumatera banget, padahal kan tentu saja tidak. Sumatera saja dibagi-bagi lagi provinsinya dan akhirnya seiring dengan banyak juga teman saya yang orang Sumatera tapi bukan Batak plus sudah belajar peta buta di SD, syukurlah saya sekarang tidak lagi menyamaratakan orang Sumatera semuanya Batak hehe. Ya, pertama kalinya saya ke Sumatera dan pertama kalinya Lampung. Iya, Lampung!

Saya berkesempatan untuk mengunjungi Lampung di tahun 2015 ini sampai 2 kali hanya dalam rentang waktu kurang lebih 1 bulan saja, terkait dengan peran saya sebagai staf kepanitiaan Ziarah dan Rekoleksi KMK Universitas Indonesia. Di akhir pekan ke-2 Mei 2015, saya, Yos, Widya, Deve, diantar oleh Edu dan Sena berangkat tengah malam dari Depok dalam rangka untuk melakukan survei tempat juga untuk menghitung estimasi waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan ke sana, menggunakan mobil Av**z*. Pertama-tama kami harus mencapai Pelabuhan Merak terlebih dahulu.

"Baru Pertama Kali ke Merak (saya), Mohon Dimaafkan."
tengah-depan: Widya | kiri-tengah: saya ; kanan-tengah: Deve | belakang kiri ke kanan: Sena dan Yos

Sesampainya di Pelabuhan Merak, syukurlah kami tidak menjumpai antrian kendaraan untuk masuk ke ferri yang berarti. Beruntung, saat itu kami mendapatkan ferri yang besar dan baik karena ber-AC dan tidak perlu membayar sewa ruangan AC/retribusi tambahan dan semacamnya lagi. Kurang lebih 2,5 jam mulai dari mobil masuk ke ferri sampai mobil keluar lagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Bandar Lampung. Jika boleh saya mengutarakan pendapat, bagi saya suasana kesumateraan Lampung tidaklah terlalu menonjol karena provinsi ini memang dikenal sebagai tempat transmigrasi beberapa penduduk dari tanah Jawa. Kental juga kejawaannya, hahahahahaha. Saya sampai bingung. Ini Lampung apa Jogja, ketika kami melintasi jalanan di sepanjang Jl. Zainal Abidin Alam Pagar juga terasa seperti Sleman.


"Baru Pertama Kali Juga ke UNILA"
ki-ka: Sena - Fanya - Edu - Deve - Yos - Deddi
(Widya memotret)
"Ngga mau pulang...."





Singkat cerita, selama melakukan survei ke beberapa tempat di sana kami ditemani oleh Ketua KMK Universitas Lampung yaitu Kak Deddi, yang juga menghantarkan kami ke tempat makan bakmi Siantar yang lezat. Kenangan bersama Kak Deddi dan Bakmi Siantar. Apalah. Cieeeeeeee ~

Survei kami lakukan dalam sehari semalam dan akhirnya langsung kembali ke Depok. Hari demi hari berganti dan persiapan terus dijalani. Kehadiran UAS yang harus dilalui dengan penuh perjuangan (buatku secara pribadi, kayaknya orang-orang pada selow) pun menjadi obat pemersingkat waktu menuju hari H yang mujarab.
"Rombongan Ziarek KMK UI 2015 Menyeberang ke Pulau Sumatera, 18 Juni 2015"

18 Juni 2015 malam, rombongan peserta dan panitia berangkat dari Pusgiwa UI menuju Merak dan ngerasa agak zonk karena........kecepetan sampainya ._. Rupanya faktor bulan Ramadhan dan awal puasa agak luput diperhitungkan. Hal ini juga berdampak dengan terlalu cepatnya kami sampai ke destinasi pertama kami yaitu di salah satu pantai di kawasan Kalianda. Kami tiba di pantai sekitar pukul 02.00, ditempuh sekitar 1-1.5 jam dari Pelabuhan Bakauheni. Rombongan pun hanya bisa dikondisikan untuk tidur di dalam bis, namun ketika ada beberapa panitia yang bisa mengawasi, beberapa peserta memilih untuk tidur di balai-balai di area pantai.


04:00
Air sedang pasang, ditambah gerimis
Pukul 05.30, 19 Juni 2015, peserta mulai dikumpulkan untuk duduk menghadap pantai untuk bersama-sama mengikuti ibadat pagi bersama Rm. Swasono SJ. Di awal peribadatan tentu banyak yang masih lelah dan ngantuk, memejamkan mata untuk berdoa malah kebablasan tidur pun tak asing lagi hahaha. Namun, bersama munculnya matahari yang hangat, udara pagi yang segar, serta kicauan burung-burung, nyawa kami kembali terkumpul dan perlahan rasa lelah kami juga hilang.




Ibadat selesai dilanjutkan dengan sarapan. Kemudian ada beberapa acara yang diikuti peserta dalam dinamika kelompok. Bersama-sama kami menikmati keindahan pantai berpasir putih dengan pecahan ombak yang ya......lumayan buat terombang-ambing lucu dan basah-basahan hehe.


Tengah hari kami lanjut menuju ke Rumah Retreat La Verna di daerah Padang Bulan. Jaraknya cukup jauh yaitu memakan waktu sekitar 3-4 jam. Lampung sendiri sebenarnya cukup langka akan kemacetan jalannya namun saat itu kami cukup terhambat karena adaya pengerjaan perbaikan jalan yang memaksa adanya sistem buka-tutup jalur. Menjelang sore, rombongan tiba di La Verna, dikondisikan untuk mandi dan istirahat di kamar masing-masing sampai tiba waktunya untuk makan malam.

18.20 - Rumah Retret La Verna, Padang Bulan, Lampung




Saya juga mandi dan menghabiskan waktu istirahat dengan berjalan-jalan di sekitar komplek La Verna bersama Deve dan Zha-Zha. Matahari yang mulai terbenam perlahan mengguratkan keindahan lembayung senja yang mengesankan, perlahan muncul pula sang bulan yang terang benderang. Saya pun merasa beruntung karena saat itu sedang ada fenomena alam, di mana kita bisa melihat planet Venus di langit yang terlihat layaknya bintang yang amat terang. Hari pertama kami isi dengan kegiatan pengembangan spiritual bersama Romo Swasono, SJ.

20 Juni 2015. Selain Jalan Salib yang diagendakan akan dilaksanakan pada hari tersebut, kami juga berdinamika dengan teman-teman dari KMK Unila dan KMKL (KMK se-Lampung) dalam diskusi bersama mengenai "menjadi Terang dan Garam di Lingkungan Kampusku". Di hari berikutnya, 21 Juni 2015, kami berdinamika bersama KMK Unila, KMKL, dan adik-adik Bina Iman Anak dan Remaja (BIA dan BIR) dari stasi Padang Bulan. Kegiatan bersama adik-adik BIA dan BIR diisi dengan kegiatan Sekolah Minggu seperti belajar nyanyi rohani dan cerita Kitab Suci. Selesai berkegiatan dan makan siang, rombongan check out dari rumah retret dan selanjutnya kembali pulang ke Jawa. Sebentar ya....kurang nih........



Sebelum ke pelabuhan, kami sowan ke makam Mgr. Hermelink. Umat Katolik Lampung mana yang enggak kenal mendiang Mgr. Hermelink? ya, beliau adalah uskup pertama di Lampung ini. Silakan gali informasi mengenai cerita dan karya perutusan beliau via mbah google ya.... (penulisnya males bikinin link, maaf! ^^")

"Entah mengapa harus berpose seperti ini di depan pintu gereja...."
(Bersama teman-teman KMKL - itu, pashminaku diminta buat kenang-kenangan; untuk selimut kalau bobo, untuk masker kalau touring motor :""") )

Perjalanan ke Lampung di 2015 sungguh istimewa. Tidaklah sejauh yang dikira. Jempolannya dari Lampung adalah no macet KECUALI ada perbaikan jalan dan musim mudik  :) Udara dan mataharinya terasa lain di sana, entah bagaimana menjelaskannya, tapi, saya senang sekali. Kapan-kapan mau ke Lampung lagi, baik untuk rekreasi pun untuk wisata rohani!

Salam,
-F


24.2.15

Nurani Kucari

Bukan, bukan anak Pak RT

Bukan pula anak Pak RW

Atau Pak Camat, Pak Lurah

Apalagi Walikota

Apalagi Gubernur

Presiden

Bukan!


Nurani! Masa kau tak tahu nurani?

Berapa usiamu?

Apa isi otakmu? Hatimu?

Jangan-jangan kau sengaja mengkopongkannya selalu, ya?



Nurani, di mana?

Pada Pak RT? Pak RW?

Pak Lurah? Camat?

Walikotaku? Gubernurku?

Presiden? Presidenku?

Rakyat? Aku? Mereka? Siapa?????????????


Yang bisa menjawab, mohon acungkan tanganmu

Putarlah Itu Satu Kali Lagi

Segala macam kenangan

yang memang masih diingat

atau hanya sekelibat diingat

Putarlah itu satu kali saja

untukku di sini

yang akan berdansa ikuti alunannya

Kumohon, satu kali ini saja

Kau memutarnya

Agar hanya ada satu kali kesempatan

Terakhir

Bagiku

Untuk terus berputar-putar

tersedot terseok dalam kenangan

yang memang masih sengaja kuingat

bukan sekedar teringat


Bagaimana bisa

1000 malam yang meski ada absennya

antara kamu, aku, dunia

bisa sirna begitu saja


ada usaha yang dulu diusahakan

ada semangat yang dulu digebukan

ada cita yang diperjuangkan

ada cinta.


Putarlah itu satu kali lagi

lalu mari tak saling mengenal

bila itu memang yang engkau mau