Ambillah secarik kertas. Kuminta kau untuk menggambarkan
segitiga.
Kamu tahu kan segitiga itu apa? Yang bentuknya bagaimana?
Kuanggap kau pintar dan kau tahu.
Dengan segitiga yang kau buat, izinkan aku membaliknya
hingga menampakkan segitiga yang terbalik. Hingga menampakkan bentuk wajah
laki-laki ini secara kasar.
Laki-laki, si wajah segitiga terbalik. Aku menyukainya, ya,
benar-benar menyukainya. Rupawan? Ya! Benar-benar tampan dalam kamus mataku!
Dan di dalam kamusku, ketampanan bukan hanya dari wajah atau warna kulit, namun
dari perangai dan hal-hal yang diminatinya.
Berkenalan dengannya adalah suatu kesempatan yang bisa
kubilang langka, atau mungkin keberuntungan, atau lebih puitis lagi, mungkin
ini takdir. Aku tahu dia sejak lama, bukan benar-benar mengenalnya, kok. Tahu
wajah, tahu nama, tahu hobi, tahu tempat di mana ia menghabiskan waktu dengan
porsi 60% lebih banyak dari tempat lainnya dalam kesehariannya.
Aku tahu dia tanpa dia tahu aku.
Kecuali aku menampakkan diri, dan memberikan isyarat yang
sebenarnya aku tidak yakin dapat dikatakan lagi sebagai isyarat; bahwa aku ada,
aku ada dan ingin berkenalan dengannya, dan menjalin pertemanan dengannya, aku yakin
dia tidak akan bisa kenal aku.
Hingga akhirnya aku menawarkan tanganku terlebih dahulu,
mengucapkan namaku.
“Lalu siapa namamu?” lanjutku.
Dia melanjutkan dengan menyebutkan satu nama yang,
ya......sebenarnya aku sudah tahu lama.
Satu hari setelah perkenalan, ia yang menyapaku lebih dulu.
Selanjutnya kami pergi makan malam. Selanjutnya kami berbincang-bincang begitu
seru hingga sanggup menepis angin malam yang mulai menggerutu karena gagal
untuk membelai mengantar kami ke alam mimpi. Selanjutnya kami berjalan-jalan,
masih di malam yang sama. Lalu duduk. Lalu berjalan. Ketika mulai lelah kami
duduk lagi. Di malam itu, aku menemaninya di hampir setiap kegiatannya, bahkan
ketika dia cuci tangan, tanpa berani aku balas minta kesediannya untuk
menungguiku cuci piring. Meski pada akhirnya tanpa aku meminta, dia pergi juga
bersamaku. Malam itu langit cerah, hitam terang, tanpa awan, namun tiada juga
bintang-bintang. Malam itu terasa terang karena aku tahu, selain Tuhan dan
malaikat pelindungku, ada dirinya yang berjalan sepanjang malam itu.
Kurasa, dia bintangku.
Dua hari setelah perkenalan, ia lagi yang menyapaku lebih
dulu. Nyawaku yang masih setengah ada dan tertinggal di alam mimpi membuatku
tidak bisa menyimpulkan ekspresi yang bagus di air mukaku. Kurasa, itulah yang
membuatnya tersenyum pagi itu. Buru-buru aku pamit undur diri, dengan alasan
belum mandi. Membalikkan badan dan memalingkan wajahku darinya adalah salah
satu hal sulit lainnya yang agak setara dengan memasukkan jarum ke dalam
benang; gampang-gampang tidak.
Masih di hari yang sama, ketika sore menyapa, dan ada hujan
yang menerpa. Aku duduk di situ, di bawah atap kayu lebar yang hangat, dalam
diam. Kudengar ada deru akhir dari knalpot, dari mesin sepeda motor yang
dimatikan, disusul derap orang berlari di atas tanah becek. Itu dia yang
datang. Selanjutnya kami melebur dalam kekhusyukkan masing-masing, hingga
selesai, lalu kami berbincang-bincang. Hingga matahari sudah lelah dan ingin
turun, ketika kumandang adzan mulai berbunyi, ketika air hujan sudah berhenti
dan tinggal menyisakan uap air yang berbaur dengan angin dingin malam, ketika
kami mulai menunggu ada yang memasak untuk makan malam. Ini adalah kedua
kalinya kami makan malam bersama. Di atas satu piring kami makan berdua,
hidangan yang sebenarnya membosankan, namun terasa lebih istimewa bagiku, di
malam itu.
Seperti sihir, entah mengapa setelah makan malam berakhir,
rasanya aku sudah ada di kamarku, tertidur lelap, dalam mimpi yang indah,
sementara dia hilang, hilang meninggalkan kegembiraan malam, seperti Putri
Cinderella yang berlari lenyap menjauh dari cinta Sang Pangeran yang belum
sempat untuk diungkapkan, hingga lupa ada sepatunya yang tertinggal. Sama
seperti itu, dia pergi dengan meninggalkan sepenggal rasa yang kian hari kian
tumbuh dan berbunga.
Bukan berarti aku tak bertemu lagi dengannya.
Aku sempat datang ke suatu tempat yang tanpa sengaja ada
dirinya. Namun sayang, aku hanya sempat melihatnya pergi pulang ketika aku
datang, tanpa ia tahu aku datang.
Lalu aku bertemu lagi dengannya. Dalam suatu malam. Malam
yang penuh dengan senyuman orang-orang yang ada. Malam yang penuh dengan
sajian-sajian santap malam. Ada dansa dan ada sukaria.
Aku tahu malam itu berawan. Malam itu dingin. Anginnya
menusuk. Angin yang membawa kesesakkan. Semakin riuh orang-orang berpesta,
semakin keras dentuman musik yang melagu, semakin terasa sakit dadaku
dipukul-pukul dengan sebuah batu yang besar. Batu yang sama yang membuat satu
perempuan hampir menangis, karena menahan sakitnya dipukuli juga. Batu yang
membuatku hampir menangis karena melihat perempuan yang hampir menangis, batu
yang membuatku hampir menangis karena melihat ada perempuan yang lain lagi yang
tersenyum manis bersama yang termanis.
Dia batu itu.
Ambillah secarik kertas baru. Kuminta kau untuk
menggambarkan sebuah segitiga. Dari puncak segitiga itu, tariklah garis ke atas
dan buatlah satu bintang di ujungnya. Terlihat seperti apa? Pohon natal? Bisa
jadi. Seumur hidupku, aku selalu menilai, bahwa pohon natal akan baru terlihat
indah dengan kehadiran bintang yang menghiasinya.
Biarlah dia yang indah kutatap, tetap menjadi indah bersama
bintangnya. Bintangnya bukanlah aku. Bintangku? Kuharap jangan dia lagi.
Selamat tinggal, wahai batu keras yang kukira engkau adalah
bintang! Sesungguhnya, aku menyesal, mengapa pertemuan terakhir kita tidaklah
seindah saat aku meratapi punggungmu yang berjalan menjauh tanpa mengajakku
makan malam lagi atau sekedar menyapaku? Tidak seindah ketika kamu pergi tanpa
tahu aku datang.
Untuk mengetahui bahwa aku harus pergi karena ada yang lain
yang datang, rasanya jauh lebih mengerikan.