21.5.14

Ketiga


Ambillah secarik kertas. Kuminta kau untuk menggambarkan segitiga.
Kamu tahu kan segitiga itu apa? Yang bentuknya bagaimana? Kuanggap kau pintar dan kau tahu.
Dengan segitiga yang kau buat, izinkan aku membaliknya hingga menampakkan segitiga yang terbalik. Hingga menampakkan bentuk wajah laki-laki ini secara kasar.

Laki-laki, si wajah segitiga terbalik. Aku menyukainya, ya, benar-benar menyukainya. Rupawan? Ya! Benar-benar tampan dalam kamus mataku! Dan di dalam kamusku, ketampanan bukan hanya dari wajah atau warna kulit, namun dari perangai dan hal-hal yang diminatinya.
Berkenalan dengannya adalah suatu kesempatan yang bisa kubilang langka, atau mungkin keberuntungan, atau lebih puitis lagi, mungkin ini takdir. Aku tahu dia sejak lama, bukan benar-benar mengenalnya, kok. Tahu wajah, tahu nama, tahu hobi, tahu tempat di mana ia menghabiskan waktu dengan porsi 60% lebih banyak dari tempat lainnya dalam kesehariannya.

Aku tahu dia tanpa dia tahu aku.
Kecuali aku menampakkan diri, dan memberikan isyarat yang sebenarnya aku tidak yakin dapat dikatakan lagi sebagai isyarat; bahwa aku ada, aku ada dan ingin berkenalan dengannya, dan menjalin pertemanan dengannya, aku yakin dia tidak akan bisa kenal aku.
Hingga akhirnya aku menawarkan tanganku terlebih dahulu, mengucapkan namaku.
“Lalu siapa namamu?” lanjutku.
Dia melanjutkan dengan menyebutkan satu nama yang, ya......sebenarnya aku sudah tahu lama.

Satu hari setelah perkenalan, ia yang menyapaku lebih dulu. Selanjutnya kami pergi makan malam. Selanjutnya kami berbincang-bincang begitu seru hingga sanggup menepis angin malam yang mulai menggerutu karena gagal untuk membelai mengantar kami ke alam mimpi. Selanjutnya kami berjalan-jalan, masih di malam yang sama. Lalu duduk. Lalu berjalan. Ketika mulai lelah kami duduk lagi. Di malam itu, aku menemaninya di hampir setiap kegiatannya, bahkan ketika dia cuci tangan, tanpa berani aku balas minta kesediannya untuk menungguiku cuci piring. Meski pada akhirnya tanpa aku meminta, dia pergi juga bersamaku. Malam itu langit cerah, hitam terang, tanpa awan, namun tiada juga bintang-bintang. Malam itu terasa terang karena aku tahu, selain Tuhan dan malaikat pelindungku, ada dirinya yang berjalan sepanjang malam itu.

Kurasa, dia bintangku.

Dua hari setelah perkenalan, ia lagi yang menyapaku lebih dulu. Nyawaku yang masih setengah ada dan tertinggal di alam mimpi membuatku tidak bisa menyimpulkan ekspresi yang bagus di air mukaku. Kurasa, itulah yang membuatnya tersenyum pagi itu. Buru-buru aku pamit undur diri, dengan alasan belum mandi. Membalikkan badan dan memalingkan wajahku darinya adalah salah satu hal sulit lainnya yang agak setara dengan memasukkan jarum ke dalam benang; gampang-gampang tidak.
Masih di hari yang sama, ketika sore menyapa, dan ada hujan yang menerpa. Aku duduk di situ, di bawah atap kayu lebar yang hangat, dalam diam. Kudengar ada deru akhir dari knalpot, dari mesin sepeda motor yang dimatikan, disusul derap orang berlari di atas tanah becek. Itu dia yang datang. Selanjutnya kami melebur dalam kekhusyukkan masing-masing, hingga selesai, lalu kami berbincang-bincang. Hingga matahari sudah lelah dan ingin turun, ketika kumandang adzan mulai berbunyi, ketika air hujan sudah berhenti dan tinggal menyisakan uap air yang berbaur dengan angin dingin malam, ketika kami mulai menunggu ada yang memasak untuk makan malam. Ini adalah kedua kalinya kami makan malam bersama. Di atas satu piring kami makan berdua, hidangan yang sebenarnya membosankan, namun terasa lebih istimewa bagiku, di malam itu.
Seperti sihir, entah mengapa setelah makan malam berakhir, rasanya aku sudah ada di kamarku, tertidur lelap, dalam mimpi yang indah, sementara dia hilang, hilang meninggalkan kegembiraan malam, seperti Putri Cinderella yang berlari lenyap menjauh dari cinta Sang Pangeran yang belum sempat untuk diungkapkan, hingga lupa ada sepatunya yang tertinggal. Sama seperti itu, dia pergi dengan meninggalkan sepenggal rasa yang kian hari kian tumbuh dan berbunga.
Bukan berarti aku tak bertemu lagi dengannya.
Aku sempat datang ke suatu tempat yang tanpa sengaja ada dirinya. Namun sayang, aku hanya sempat melihatnya pergi pulang ketika aku datang, tanpa ia tahu aku datang.

Lalu aku bertemu lagi dengannya. Dalam suatu malam. Malam yang penuh dengan senyuman orang-orang yang ada. Malam yang penuh dengan sajian-sajian santap malam. Ada dansa dan ada sukaria.
Aku tahu malam itu berawan. Malam itu dingin. Anginnya menusuk. Angin yang membawa kesesakkan. Semakin riuh orang-orang berpesta, semakin keras dentuman musik yang melagu, semakin terasa sakit dadaku dipukul-pukul dengan sebuah batu yang besar. Batu yang sama yang membuat satu perempuan hampir menangis, karena menahan sakitnya dipukuli juga. Batu yang membuatku hampir menangis karena melihat perempuan yang hampir menangis, batu yang membuatku hampir menangis karena melihat ada perempuan yang lain lagi yang tersenyum manis bersama yang termanis.

Dia batu itu.

Ambillah secarik kertas baru. Kuminta kau untuk menggambarkan sebuah segitiga. Dari puncak segitiga itu, tariklah garis ke atas dan buatlah satu bintang di ujungnya. Terlihat seperti apa? Pohon natal? Bisa jadi. Seumur hidupku, aku selalu menilai, bahwa pohon natal akan baru terlihat indah dengan kehadiran bintang yang menghiasinya.

Biarlah dia yang indah kutatap, tetap menjadi indah bersama bintangnya. Bintangnya bukanlah aku. Bintangku? Kuharap jangan dia lagi.

Selamat tinggal, wahai batu keras yang kukira engkau adalah bintang! Sesungguhnya, aku menyesal, mengapa pertemuan terakhir kita tidaklah seindah saat aku meratapi punggungmu yang berjalan menjauh tanpa mengajakku makan malam lagi atau sekedar menyapaku? Tidak seindah ketika kamu pergi tanpa tahu aku datang.

Untuk mengetahui bahwa aku harus pergi karena ada yang lain yang datang, rasanya jauh lebih mengerikan.


Kedua


Aku tidak yakin apakah ini disebut dengan perkenalan, yang jelas, pertama kali kami berjumpa, kami tidak tahu nama satu sama lain. Lalu aku tahu namanya. Kurasa, aku tahu lebih dulu sebelum dia mengenal namaku.

Satu saat, dia berdiri bersandar pada tiang bangunan, berusaha menghubungi beberapa nomor dari ponselnya yang kulihat tidak ada yang berhasil memberikan jawaban kepadanya. Aku ada di balik tiang yang lain. Bukan mengintip, aku memang kebetulan ada di situ. Lalu kebetulan melihatnya. Kemudian diam-diam memperhatikannya. Tiba untukku beranjak dari tempatku, sengaja kulangkahkan kakikku mantap menuju dia, kusapa dengan lambaian tangan, mengucapkan namanya dengan sedikit meragu.
Untunglah benar. Hingga saat itu, aku selalu mantap memanggil namanya.

Namun tanpa pernah mantap menerka apa yang terjadi di antara kita.

Kegeeran? Mungkin.

Kupikir ia menyukaiku. Maksudku, dalam arti yang lebih. Naksir, ya, benar. Karena sikapnya yang terlampau istimewa kepadaku, dinilai dari singkatnya perkenalan antara kami. Aku tahu dia berbuat baik pada semua temannya, yang laki-laki, yang perempuan, yang lebih tua, yang lebih muda, yang apa adanya, yang ada apanya, yang tidak baik padanya (tapi aku tidak begitu yakin dengan hal ini), terlebih-lebih yang baik dan bersahabat dengannya.

Lalu, mengapa aku harus merasa aku yang teristimewa?
Karena aku merasa ada tatapan yang berbeda, ketika ia menatap mataku.

Sudah kubilang, bahwa aku tidak mantap menerka apa yang terjadi di antara kita. Karena belakangan ini, keistimewaan itu perlahan terkikis, tertutup dengan kesibukannya, bahkan terbagi dan terancam tergantikan dengan yang lain.

Orang lain.

Kulihat ada tatapan yang sama yang ia berikan untukku dulu di awal perkenalan kami. Namun, ada yang berbeda juga saat kulihat tatapannya kepada perempuan lain itu. Ada arti yang lebih.



Oke.

Kucukupkan di sini saja, sebelum aku tenggelam lebih dalam di arus imajiku sendiri. Bukankah tidak baik bila kujauh terbang melayang di atas angan-angan, tinggi dan lebih tinggi? Dalam posisi yang terlalu tinggi, rasa sakit ketika terjatuh akan sangat perih.

Ya, aku memang tidak pernah pandai menerka apa yang terjadi di antara kami berdua.

Pertama


Ada seorang laki-laki. Kami berkenalan tanpa pernah berjabat tangan.  Saya tahu namanya ketika orang-orang memanggilnya, dia tahu nama saya ketika orang-orang memanggil saya, ya, begitulah saja. Di beberapa kesempatan di awal perkenalan, aku sering melihatnya berjalan terburu-buru menuju ke suatu tempat yang aku tahu jelas tujuannya. Aku tak pernah memanggilnya waktu itu. Apalagi dia yang memanggil aku, kurasa melihatku pun tidak. Orangnya baik. Juga lucu. Juga menyebalkan. No offense, but, bukankah semua manusia juga punya sisi-sisi jelek dalam dirinya?

Kembali lagi ke masalah “baik”. Ya, menurut saya dia baik sekali. Kami berkenalan belum lama namun banyak hal yang mau dia bagi bersama saya. Dia baik kepada saya, mengizinkanku untuk tahu isi dari beberapa lembaran hidupnya. Dia baik kepada saya, membangunkanku di pagi hari dengan cengiran bodohnya yang kutahu itu tulus. Dia baik kepada saya, karena dia mengajarkan banyak hal, mulai dari hal-hal berbau budaya, pilihan buku bacaan, channel televisi, musik, bahkan problematika menggoreng kerupuk. Dengan wawasan yang dimilikinya, wawasanku bertambah. Hari-hariku tidaklah lagi sepi. Tidak pernah kami saling diam-diaman, terjebak dalam hening yang dingin, karena kami selalu berceloteh satu sama lain di tiap kesempatan yang kami miliki. Rasanya hangat dan dekat bila kami saling berbicara.
Tapi tunggu, aku pernah diam kepadanya. Setelah tahu, bahwa dia sudah punya pacar. Bahkan tanpa perlu mengklarifikasi, aku  mengklasifikasikan sendiri bahwa hubungan mereka mulai memasuki babak calon suami-istri.

Di salah satu cerita yang dibaginya, ketika ada celah, ada satu sosok nama wanita yang disebutnya.

“Siapa?”
“Pacarku.”

Selanjutnya, di kisah-kisah yang dibaginya, setidaknya nama itu muncul dari ucapannya tiap seminggu sekali. Akan bertambah ketika dia sedang kangen-kangennya dengan kekasihnya. Akan bertambah ketika dia habis jalan-jalan dengan kekasihnya. Bahkan akan bertambah ketika kekasihnya menitipkan salam untukku.
Aku berkenalan dengan pacarnya. Sama seperti aku mengenalnya, aku dan kekasihnya berkenalan tanpa berjabat tangan. Kekasihnya tahu namaku karena orang-orang menyebut dan memanggil aku. Aku tahu namanya karena dia yang bilang padaku di salah satu kisahnya. Sisi burukku yang asli muncul. Aku tidak pernah yakin bahwa pacarnya baik kepadaku, aku tidak yakin apakah aku bersikap baik kepada pacarnya. Aku tidak pernah bisa melepaskan tatapan setengah nanarku saat melihat mereka bersama. Banyak yang menilai mereka serasi namun dengan sombongnya aku selalu mengucap di dalam hati, “Perasaan cantikkan aku, deh.”

Aku tidak tahu ini perasaan macam apa. Yang jelas, ya, tadi itu. Karena kekasihnya, aku diam-diaman dengan dia. Bahkan ketika kekasihnya sedang pergi, dan kesempatan kami untuk berbicara muncul lagi, aku pergi menjauh. Atau aku tetap duduk di tempatku, dia di sampingku, namun mulutku kukunci rapat-rapat. Atau sesekali kukeluarkan kata-kata berarorama sinis dan nanar, sama seperti tatap mataku. Air mukaku yang tak terbendung rupanya mengguratkan ada segaris rasa pilu dengan semua ini.

Tanpa kusadari, tanda-tanda perubahanku yang jelas-jelas lebih nampak terasa daripada perubahan hawa angin yang mengawali pergantian musim, telah dirasakannya. Aku tak tahu jelas, kata apa yang dapat menggambarkan perasaannya itu, karena sampai sekarang dia tidak pernah mengungkapkannya. Yang jelas semua itu tidak enak. Aku tahu tidak enak, aku tahu dia tidak enak dengan sikapku, dan aku tahu bahwa dia tahu aku berperilaku seperti itu karena ada sesuatu. Hingga akhirnya ia yang bergerak lebih dulu, ingin mencairkan batu es yang terlanjur berdiri, yang terbangun entah dari tetesan air mana, yang dibekukan karena dinginnya suatu hal yang tak jelas arah tujuannya. Kami sama-sama tahu tanpa perlu kami berkata-kata. Hatilah yang kini berbicara.

Hingga akhirnya ia benar-benar berbicara kepadaku,

“Kenapa, sih, kamu?”
“Kubilang tidak apa-apa.”
“Tapi, kok, kamu, sedih terus kelihatannya?”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”

Aku bersyukur, karena rupanya dia memang baik. Sama seperti yang kuceritakan di awal, ketika aku melihatnya jalan terburu-buru, dia bukan terburu-buru tapi memang begitu adanya cara dia berjalan. Ketika aku menganggapnya tidak tahu, dia bukan benar-benar tidak tahu tapi memang dia tahu persis bagaimana caranya untuk tahu. Ketika aku menilainya sebagai orang yang baik, rupanya dia bukan benar-benar orang yang seratus persen baik tapi dengan kebaikan hatinya ia mau berusaha menjadi yang terbaik.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti sedia kala. Bedanya? Kini akulah yang berjuang untuk segara menepis apa yang kusebut pilu, apa yang kusiratkan dalam mataku, saat dia bersama kekasihnya. Aku yang menahan khawatir dan rasa rindu, namun meyakinkan diriku, ketika kesempatan itu datang, maka kau dan aku akan berbicara lagi, berbincang-bincang lagi, hingga lupa waktu, asal tidak lupa diri.

Tetaplah begitu, jalani harimu, apa yang kau mau, apa yang ada bersamamu. Biarkan aku saja yang menahan diriku lebih lagi.

Suratku untung Bung J

Selamat pagi untukmu! Kalau kau baca ini pagi hari

Selamat siang untukmu! Kalau kau baca ini siang hari

Begitu kau baca ini di sore atau malam, kuharap kau sudah tahu isi salamku.

Di luar itu, kuharap kau tidak membacanya, kau sebaiknya tidur

atau belajar

ujian sudah dekat



Bagaimana angin laut di sana?

Senang menerima pesan singkat darimu

Ini adalah sebuah prolog

Menyambung cerita yang kujanjikan

Kuharap kau tidak terbatuk-batuk membacanya



Salam rindu.

19.5.14

Throwback # 5 - 94, Lalu Selamanya


24 Maret 2014
.
Menjadi hari ulang tahunmu yang pertama tanpa aku

tanpa pelukku di hari bahagiamu


tanpa ucapan yang tepat waktu

tanpa hasrat ingin menghubungi

lewat telepon, atau sekedar titip salam


Aku ingat hari ulang tahunmu, benar

Aku ingat benar hari itu aku sibuk sendiri, benar

Aku mendoakanmu hari itu, benar

Benar-benar kumendoakan segala sesuatunya yang terbaik

Meminta kepada Sang Khalik hanya untukmu



Rasa sesal karena sebelumnya kita pun berjumpa

satu hari sebelum ulang tahunmu

enam hari seusai ulang tahunmu

namun tidak di hari pergimu, pulangmu




Panjang umurmu ! Sejahtera senantiasa ! Hidup berbahagia !

Selama-lamanya

bersama Dia di dalam Keabadian



Salamku, dengan pilu rindu yang kutahan di pelupuk mataku

Kugubah menjadi semburat senyum tanda syukur

Atas damainya hidupmu



Damai


Damai


Damai itu kan selalu bersamamu, kutahu itu

Terimakasih banyak

Untuk hadir di sepanjang umurku, selalu




Dari aku, yang menyayangimu
Namun tetap kalah dari Dia yang jauh lebih menyayangimu


In Memoriam
Helena Polie Purwati Sawabi
(24 Maret 1920 - 2 April 2014)
















13.5.14

Throwback # 4 : Starting My College Life

Dulu saya sempat mengalami fase ekstra galau super duper saat memilih jurusan dan universitas tempat saya kuliah. Dan saya teringat 1 episode Blues Clues (Nickelodeon) tentang Steve yang going to college. Rasanya agak nampar sih waktu saya search di Youtube, nemu, lalu saya tonton. Tapi setelah ketampar, malah memberikan refleksi bahwa saya harus bisa menyusun target mau kuliah ke mana, jurusan apa, dan fokus untuk mencapai tujuan dan harus cari win-win solution untuk menghadapi kemungkinan akan rintangan-rintangan yang ada.

Kemudian, setelah saya diterima di beberapa perguruan tinggi dengan jurusan-jurusan dan jenjang-jenjang yang berbeda, saya ekstra galau. Serba salah banget rasanya. Orang-orang bilang, "enak keterima semua tinggal milih.", but trust me it was soooooooooooooo difficult for me buat milih. Belum lagi dengan judge-judge beberapa orang yang menilai, "Fanya, lu gak bersyukur banget sih, udah keterima di A malah milih B, atau udah keterima di B tapi C yang jenjangnya lebih menjanjikan kok ditinggalin!" ; ya semua makin memperkeruh suasana.

Tapi akhirnya saya memilih.
Meski saya juga cukup galau dengan pilihan saya di awal-awal kuliah.

Mengapa? Karena saya memilih kuliah di Universitas Indonesia, jurusan Fisioterapi, jenjang D3. Tidak sedikit yang menyayangkan mengapa saya memilih untuk menempuh kuliah D3 daripada S1. Dan kenapa harus Fisioterapi? Emang Fisioterapi itu apaan? Nanti sarjananya kapan? Bagaimana? Blah...blah...blah.... Rasa takut juga kerap kali menghantui, membayangkan masa depan saya, mengkhawatirkan kekhawatiran yang mengawang-awang, belum lagi tekanan pergaulan di mana semua orang dari seluruh Indonesia ada di kampus saya, kuliah, sama-sama mengejar prestasi, berlomba-lomba menjadi yang terbaik (bahkan harus yang terbaik di antara yang paling baik), namun dituntut untuk senantiasa berkontribusi di dalam masyarakat, baik Indonesia maupun dunia, yang kian hari kian kompleks. Belum lagi kegalauan masalah tinggal, yang jauh dari orang tua, tinggal bersama orang lain yang juga merantau, lalu uang saku? Di awal bulan harus memutar otak sedemikian rupa supaya pundi-pundi tidak sekarat di pertengahan bulan, dan tidak terlalu mengenaskan di akhir bulan.

Namun galaunya hati saya sedikit demi sedikit mulai terkikis. Karena apa? Karena banyak sekali kegiatan saya dalam kehidupan menjadi seorang mahasiswi. Saya harus terus bertahan hidup.

Menjadi seorang Mahasiswi Universitas Indonesia...
Di kampus saya, hari-hari sebagai mahasiswa baru banyak diisi dengan kegiatan mahasiswa baru. Dimulai dengan kegiatan tingkat kampus, mulai dari daftar ulang, PSAU, OKK, dan juga tradisi Paduan Suara Mahasiswa Baru yang sudah berlangsung 30 tahun lamanya. Kalau mau tahu lebih jelasnya, boleh cari di Google aja deh, jujur, saya malas nulisnya, banyak banget ceritanya :p

Kelompok tugas OKK. Dapat tugas orientasi mahasiswa padahal masih libur! :D

PSAU!
Dalam hidup gue pakai seragam putih-putih, terakhir itu waktu kelas 6 SD jadi anggota PMR  tk. Mula

Bersama Bapak Rektor, selepas upacara HUT RI ke- 68, 17 Agustus 2013


T-shirt seragam OKK. Kembaran sama 8000an mahasiswa lainnya......


OKK 2013. Salam Membudaya!

Penutupan Masa Bimbingan Program Vokasi 2013

Kelompok MabimVok-ku!

Bersama Ketua BEM Program Vokasi UI 2013, Raja Sibarani


Dan akhirnya... setelah melewati berbagai kegiatan orientasi, setelah SIMAK UI, setelah UN SMA, setelah menanti sejak saya kelas 5 SD.... akhirnya.... AKHIRNYA....... got The Yellow Jacket! Yuhuuuuu! Perdana dipakai saat acara Wisuda 2013, saat saya dan teman-teman angkatan 2013 lainnya bersatu dalam Paduan Suara Mahasiswa angkatan 2013 menyanyi untuk kakak-kakak yang di wisuda. Saat saya memakai jakun bersama dengan peci almamater saya.....



Dalam kesempatan ini pula lumayan lah saya juga berjumpa dengan beberapa warga di Keluarga Mahasiswa Katolik Vokasi UI untuk memberikan salam proficiat bagi warganya yang lulus.


Fanya & Pandu C. Utomo, Pariwisata UI 2010, Koordinator KMK Vokasi UI yang pertama *ecieh


Menjadi seorang mahasiswi jurusan Fisioterapi...


Dapat jaket almamater berarti sudah resmi jadi mahasiswa UI nih? Yap tul. Tapi, karena belum menjadi anggota aktif dari Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia, masih ada yang harus ditempuh yaitu masa bimbingan di himpunan. Himpunan saya menaungi 3 prodi sekaligus di Vokasi UI yaitu Fisioterapi, Okupasi Terapi jadi kelompoknya terdiri dari orang-orang yang berbeda prodi. Banyak tugas-tugas seru yang nggak akan bisa dilupakan. Termasuk tradisi pakai Jakun selama berada di kampus dalam kegiatan apapun selama 1 bulan penuh. Hahaha gerah ya gerah deh lo. Mabim ini akhirnya paripurna juga setelah ditutup dengan acara lomba aerobik antar kelas. Meski kelas saya ngga menang, yang penting foto-foto! Eh, yang penting gembira, sih, maksudnya hehehe..


Duduk-duduk di selasar menunggu kelas dibuka (kecuali gue, gue tiduran)

Nih hasil bahagianya segala macam mabim bener-bener selesai :')

Selfie dengan colongan foto ibu dosen;
 dr. Nuhonni, Sp.RM yang lagi siap-siap mau ngajar hahaha

Setelah bebas merdeka dari masa-masa "kuliah pakai Jakun".
Foto diambil di depan Masjid Arif Rahman Hakim, Kampus UI Salemba


Kehidupan selanjutnya adalah............. kuliah. Hahaha. Tapi alangkah baiknya jika kehidupan kuliah yang sudah warna-warni banget (asli, deh, Fisioterapi itu menyenangkan sekaligus ribet :" ) kita warnai lebih lagi agar sekalian rudet. Hahahaha enggak gitu juga, sih. Dari mulai kegiatan yang bernanung di dalam organisasi, sampai ke yang main-main saya ikuti. Sampai sekarang.... Ya, begitulah kehidupan saya. Belajar selalu jadi wacana untuk menjadi prioritas yang pertama....... (eh.) :P


Sudah ah, mau belajar dulu nih, nggak mungkin lah belajar tidak diprioritaskan. Saya mau nikah! Maka saya mau lulus! (salah fokus) Hahaha iitu saya bercanda kok, menikah tidak semudah itu. Cita-cita saya yang lain masih banyak.... :)
Malam.
F.



p.s.
So far jadi mahasiswi di sini, sudah cukup banyak momen-momen favorit versi saya yang saya dapat. Salah satunya adalah kegembiraan pergi ke JGTC. The 36th Jazz Goes To Campus besutan FEUI ini berlangsung pada 1 Desember 2013. Hari itu bertepatan dengan Rekoleksi Pengembangan Diri untuk UAS mata kuliah Agama Katolik, sehingga............. Saya baru datang pukul 18.20, sedangkan open gate started from 11.00, dan sore itu hujan deras, dan FEUI yang jadi venue padat sekali! Dan saya melewatkan Raisa yang manggung pukul 17.00. But, masih ada pengisi-pengisi acara yang ciamik tentu saja! BLP, Tulus, Andien, Tompi, bahkan ada DEPAPEPE, lalu belum lagi Idang Rasjidi salah satu tokoh legendaris dunia musik jazz Indonesia, top! Saking serunya, acara ini sukses bikin saya betah sampai akhir, sampai bapak-bapak dan om-om tukang panggung datang untuk beres-beresin panggung dan sound system, sampai Raisa udah pulang duluan (yaiyalah dari kapan tauk deh), sampai tanggal 1 Desember sudah berganti jadi tanggal 2. Yap, sampai 01.45 saya masih foto-foto dulu di photoboothnya, padahal Uci ada kuliah pk 8 dan saya juga ada kuliah Biologi Kedokteran. Bidibidibongbong!


Foto dulu sama Raisa versi duplex.
Bersama Maria Gatra Suciningrum, Pariwisata 2013, KMK Vokasi 2013,
partner setia nonton JGTC ahiw!


that's me! Sepertinya sih normal-normal aja, but wait....... let's scroll down and check the next photo.....................

whoaaaa what? Sandal jepit?! Iya dongs, sandal jepit naik kelas nih!
Pokoknya outfit nonton konser musik jazz  tren baru masa kini. Versi gue doang, sih.
(hashtag ah: #korbanganasnyahujansaatJGTC)



9.5.14

Throwback # 3 : Cara yang Harus Kutempuh untuk Kuliah

Cerita kita yang terakhir itu bersambung di sini, ya kan? Ya, Pak Pos datang ke rumah membawa surat kelulusan. Sebenarnya saya udah nggak merasa surprised lagi. Yang ada saya mau nangis. Selain karena Pak Pos terlambat 4 hari membawa surat kelulusan saya sampai saya sudah tahu duluan bahwa SMA saya untuk tahun 2013 persentase kelulusannya mencapai 100%, kehadiran Pak Pos semakin menaburkan garam di atas luka (ceileh). Pasalnya, 4 hari yang lalu, di mana seharusnya Pak Pos datang, di saat saya sedang menanti-nanti kehadirannya, rupanya ada pengumuman via internet mengenai hasil penerimaan calon mahasiswa perguruan tinggi negeri untuk jalur Seleksi  Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). 

Hasilnya, saya belum diterima di mana-mana. Dari 2 universitas dan 4 jurusan yang saya ajukan, hasilnya nihil semua.

Rasanya pilu sekali. Sepi sekali. Kelabu sekali. Melankolis sekali. Pak Pos datang saya menahan tangis, drama sih. Pak Pos pergi, saya masuk dan tangis pun pecah, lebh drama lagi. Surat kelulusan saya letakkan seadanya di meja makan. Saya duduk di bangku ruang tv, selonjoran, nangis campur ingus karena pilek, sambil nonton Kobo Chan.


Rasanya waktu itu campur aduk karena jujur selama ini saya tidak mempersiapkan diri untuk masuk PTN, tidak seperti teman-teman lainnya yang ikut bimbingan belajar. Saya tidak punya cadangan perguruan tinggi swasta. Dan sampai detik itu saya pun bingung harus berbuat apa. Kerjaan saya selama 4 hari cuma merenung, nonton televisi, nanti tiba-tiba sedih, nonton lagi, nanti senyum-senyum karena nonton Kobo Chan, tapi nanti sedih lagi, lupa mandi, makan terus, berjam-jam di tempat tidur mendengarkan lagu galau sampai ketiduran. Begitu terus. Padahal saya tahu 2 minggu lagi masih ada harapan terakhir untuk masuk PTN lewat Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan 3 minggu lagi ada  seleksi masuk Politeknik Kesehatan Bandung, dan 5 minggu lagi ada harapan terakhir untuk masuk Universitas Indonesia lewat jalur SIMAK UI. Merenungi nasib saya, memikirkan kesempatan-kesempatan yang tersisa, ujung-ujungnya saya tidak lagi menonton televisi, melainkan ditonton televisi. Kartun Kobo Chan selesai, saya langsung mandi, habis mandi berdoa, minta jalan dan petunjuk sama Tuhan. Selesai berdoa, saya mulai menghubungi kakak-kakak alumni SMA yang kuliah di PTN untuk minta ajarin soal-soal ujian-ujian masuk PTN. Dan akhirnya saya janjian untuk minta diajari oleh Kak Arthur, lulusan 2011 SMA saya, Teknik Sipil ITB 2011. Sempat tuh mengunjungi Kak Arthur untuk belajar di Perpustakaan ITB. 2 jam pertama berjalan dengan oke, lalu rehat dengan ketawa ketiwi kecil, lalu cerita-cerita, curhat-curhata, ujung-ujungnya curhatnya keterusan. Hahahaha. Saya juga dipinjami beberapa buku soal, buku rumus, dan buku soal dan pembahasan dari tempat Kak Arthur ikut bimbel dulu.

Dipersingkat yak. Jadi, h  -10 hari dari SBMPTN saya baru BENAR-BENAR BELAJAR SECARA INTENSIF. Kalau diingat-ingat lagi jadwal saya kayak begini:

06.30 - 07.00 Bangun, mandi, sarapan
07.00 - 10.00 Belajar
10.00 - 11.00 Nonton E-News di NET. TV
11.00 - 13.00 Belajar sambil smsan, atau sambil ngemil, bahkan sambil cek-cek situs belanja online
13.00 - 14.00 Tidur siang
14.00 - 14.30 Bangun, ngumpulin nyawa (gue loading ngumpulin nyawanya lama), makan siang
14.30 - 16.00 Belajar
16.00 - 16.30 Nonton Kobo Chan di NET. TV
16.30 - 18.00 Belajar sambil dengerin berita di TV
18.00 - 19.30 Ngobrol-ngobrol sama Ibu, Bapak, dan Mbah
19.30 - 20.30 Belajar
20.30 - 01.30 Tidur
01.30 - 04.30 Belajar
04.30 - 06.30 Tidur
-repeat




Agak aneh, memang, but beginilah adanya. Selama 10 hari masa persiapan ini saya sedang mengidap penyakit populer sejuta umat Indonesia kalau kebanyakan begadang dan tinggal di udara basah................ pilek.

H -4. Target soal yang harus dikuasai di hari itu. Hidung ekstra meler.

H -1 SBMPTN saya juga menyempatkan pergi berdoa ke Gereja Karmel, Lembang. Dan pulangnya belajar lagi? Nggak! Saya pergi ke Wisma Pratista, Cisarua, Lembang. Berdoa lagi? Nggak juga sih, hehehe, tapi ikut Ibadat Pembukaan RENCONTRE 2013. Ketemu beberapa teman-teman alumni panitia juga sih, alumni panitia 2012 aja dikiiiiit banget cuma Hanna, Mia, Dewi, dan Thomas (karena emang lagi pada sibuk persiapan SBMPTN, gue aja yang dablek pingin ke situ he...), dan sempet dimaki-maki (tapi gue yakin kok itu makian sayang ahiw) sama Kokonya Kevin "Bowo" (somehow kok lupa ya sekarang, namanya siapa yak) karena besok gue harus SBMPTN tapi masih main-main ke RENCONTRE. Yah, gimana dong, orang gue sayang bangeeeeeeeeeeeeeeeeeet sama RENCONTRE, jadi bela-belain untuk datang. Ibadat selesai, akhirnya cus pulang ke rumah dianterin sama Thomas, teman sesama alumni Panitia Rencontre 2012 hehe......

Gereja Karmel, Lembang

Sampai di rumah saya belajar? Enggak! Mandi dulu haha. Habis mandi saya belajar? Enggak juga! Saya ngobrol-ngobrol dulu sama ibu saya, lalu baru belajar, lalu doa Rosario bareng ibu dan bapak, lalu tidur sama ibu dan bapak. Iya! Serius! Hahahahahahahaha asik tau! Maklum, saat itu kedua kakak saya, Mbak Retha dan Mbak Fina sudah kerja di Jakarta jadi posisi saya saat itu lagi jadi anak tunggal. Gyahahahaha.

Nih ya, rumahku kan di Cimahi. Tempat tesku itu di daerah...... mana ya..... yah pokoknya Jl. Asia Afrika Bandung tapi geseran lagi. Pokoknya di Universitas Langlangbuana, Bandung. Jadi bener-bener harus berangkat pagi. Saya diantar bapak saya, naik motor, jalan dari rumah sekitar pukul 05.20. Sampai di lokasi itu pukul 07.15 an. Ujian dimulai pk. 08.00. Surprisely, saya ternyata satu lokasi bahkan satu gedung dan BAHKAN satu lantai dan sebelah-sebelahan ruangan sama.............................. Yohanes Andika Citra! Itu pun saat saya sedang menuju ke ruangan saya, dia lagi belajar di depan ruangannya. Nggak nyangka banget! By the way, emang dia siapa sih? Dia itu teman sesama Panitia Rencontre 2012 DAN ternyata kita baru sadar setelah Rencontre 2012 berakhir bahwa ternyata kita itu bisa dibilang teman kecil! Jadi, mami-papinya dia temennya bapak-ibu saya dan dulu keluarga saya sering banget main ke rumahnya di Cigadung, Dago Bandung. Keluarganya dia juga sempet beberapa kali main ke rumah. Dan kami semua cukup sering jalan-jalan bersama, kayak makan di luar. Oya, selain ketemu Andika, ternyata ada Vincentius Okta Chriswanto juga! Alias si Okta! Alias si temen sejak 14 tahun! Alias tutor belajar aku banget di kelas 12 IPA 2! Yeaaaaaaaaaaaaaaay!! Kalau ruangannya Andika di sebelah kanan ruangan saya, ruangannya Okta di sebelah kiri saya. Hehehehe.... 

Ujian berlangsung sedemikian rupa, dan jelas gue banyak-banyak berdoa banget dan pegang prinsip "ujian kelar, keluar ruangan, dan lupakan!" banget. Selama ujian saya ditungguin bapak lhoooooooo hehehe jadi begitu beres langsung cao pulang dan sampai di rumah langsung.....makan siang lalu..............tidur siang lalu..............nonton Kobo Chan lalu mandi, makan malam, dan belajar sampai pukul 21.00 lalu tidur. Lalu bangun lagi pk. 04.00, mandi, sarapan, berdoa sebelum berangkat, lalu berangkat lagi untuk menempuh ujian kedua. Hari kedua rasanya lebih memacu adrenalin deh sumfe ane zuzur oh waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaw hihihi. Begitu keluar, saya menemui Okta dan menanyakan perasaannya. Okta bilang sih, "Ga tau ah, blank, kacau, galau, stress." Lalu saya menemui Andika dan menanyakan, "Dika.. Dika.. Mau datang penutupan Rencontre, nggak?" dan dia bilang, "Sorry, enggak, deh. Salam ya buat yang di sana." Sooooo, yap! Emang bener, ujian SBMPTN kelar saya langsung ke Wisma Pratista lagi untuk datang ke penutupan. Dan temen-temen alumni panitia jadi lebih banyak! Terutama panitia tahun 2012, agak lebih nampang semua apalagi selepas SBMPTN hihihi, jadi waktu senyum salam sapa kayaknya masih bau-bau rumus dan mukanya agak lecek kelipet gara-gara otaknya oleng habis ngerjain soal hihihi. And finally ketemu Lisa Sagita sahabatku dari SMP yang juga panitia tahun 2012, juga ada si Kevin "Bowo" yang kurang ajar banget malah bahas-bahas soalnya coba! Hahahaha. Saya sama Bowo juga menyempatkan diri untuk berdoa di kapel untuk mengucap syukur bahwa SBMPTN sudah dapat kami lalui dan memasrahkan seluruh pekerjaan dan usaha kami kepada Tuhan supaya membuahkan hasil yang terbaik. Selanjutnya? Ya makan siang bersama, ketawa-ketiwi, kangen-kangenan, dan tentu saja foto-foto :D

Oke, SBMPTN boleh kelar. Tapi saya masih harus menempuh ujian Politeknik Kesehatan Bandung, seminggu pasca SBMPTN dan yang paling saya nanti-nantikan yaitu............................ SIMAK - UI!

Kartu ujian SIMAK - UI ku :)

H -1 ujian saya menyempatkan diri untuk cek ruangan ujian, supaya di hari H saya nggak repot pakai acara nyasar-nyasaran dulu. Jadi, saya survey tempat ujian diantar sama Mbak Retha ke daerah Buah Batu Bandung dan itu juga jauh dari rumah. Semua tempat ujian masuk perguruan tinggi ini jauh-jauh semua nih dari rumah saya, butuh perjuangan banget! Perjuangan yang pada akhirnya selalu manis untuk dikenang :')



Ujian SIMAK - UI ini tuh bener-bener perjuangan banget! Selain karena jarak tempuh antara rumah dan lokasi ujian yang jauh dan mengharuskan saya berangkat sebelum matahari terbit lagi, ujian ini juga berlangsung di HARI MINGGU. Men, Minggu banget nih, men. Weekend, men. Tanggal merah, men. Lalu ujian ini butuh tenaga ekstra karena HANYA 1 HARI untuk mengujikan 7 mata ajar yang berbeda. Terakhir nih, hari itu, sore harinya, saya ada job untuk nyanyi di Sweet Seventeenth Party - nya Vicky Rousallen, temen baik dan partner OSIS saya selama SMA. Bener-bener harus bisa fokus saat ujian dan selepas ujian harus siap-siap lagi untuk manggung sorenya. Puji Tuhan, semuanya lancar.... :)

Sama si Birthday Girl :)

Lihat ranselnya! Ke Sweet 17th pakai ransel! Isinya: Alat tulis, papan dada,
kartu ujian, buku rumus, buku pembahasan soal, baju dan celana yang
dipakai pas ujian, make up seadanya buat manggung, perlengkapan mandi,
dompet, charger handphone, obat flu :P


Check sound, lagi-lagi perform bareng Okta!

Bersyukur banget banget bangeeeeeet bahwa semua ujian sudah selesai dan semua ujianku ditutup dengan acara yang manis-manis hihihi. Dan Puji Tuhan semua hasilnya BAIK ADANYA! Karena hasilnya adalah sebagai berikut:

SBMPTN : Teknik Pertanian - Universitas Padjadjaran
Sipenmaru PoltekKes Bandung : Ilmu Gizi - Politeknik Kesehatan Bandung
SIMAK - UI : Fisioterapi - Universitas Indonesia


Ya, perjuangan ini sepertinya memang seperti sinetron tapi, ya beginilah! Unik adanya! Bahkan terlalu unik! Dan terlalu istimewa kalau boleh merasakan karunia Tuhan Yesus yang kayak gini :') Semuanya mengajarkanku untuk senantiasa bertekun dalam iman dan fokus dalam setiap pekerjaan. Intinya: tiada yang mustahil bagi Tuhan :)


Terimakasih kuucapkan untuk semua keluarga, sanak saudara, teman-teman, dan kerabat yang telah mendoakan dan mendukung saya. Biarlah Tuhan Yang Maha Esa, lewat berkat-Nya, yang memberkati dan membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan. Amin :)


Depok, 9 Mei 2014
Salam sayang,

F.