Kamu terbuat dari apa, sih?
Hai, wahai uang!
Kurasa kamu hanya-lah kertas
walaupun rupamu di kepingan sekalipun
maka aku akan tetap bilang "kamu hanya-lah"
Hanya koin
Nyatanya ada yang bilang, "kamu punya peranan penting! Hingga cinta pun dapat dibikin mainan!"
Kamu terbuat dari apa, sih?
Hai, uang?
Cepat sekali memuai
dan sukses membuat anak kos cepat depresi
kalau-kalau sisa pembakaranmu bahkan sudah hilang
tidak sampai hati melihat begitu
saat tanggal masih berada di angka sepuluh
Kamu itu uang?
Si kertas doang
Si koin doang
namun karena nominal yang tertera
menunjukkan nominal yang terkandung
Kamu jadi berharga sekali
Dicari-cari sama orang-orang
yang letih-letihnya kuliah setinggi-tingginya
untuk kipas-kipasan di ruang berpendingin
Dicari-cari sama orang
yang letih-letihnya bersabar dan tawakal
sambil kipas-kipasan di bawah terik matahari
Lalu, bagaimana dengan aku, hai, manusia?
Manusia, aku pun manusia
Bukan hanya manusia
dan aku bernilai
sama dengan uang yang bernominal
Aku bukan uang
Ah, uang, jangan lari-larian
Letih badan ini mengejarmu
15.8.14
14.8.14
/ˈvɪnɪɡə/
1
A sour-tasting liquid containing acetic acid, obtained by fermenting dilute alcoholic liquids, typically wine, cider, or beer, and used as a condiment or for pickling.
A sour-tasting liquid containing acetic acid, obtained by fermenting dilute alcoholic liquids, typically wine, cider, or beer, and used as a condiment or for pickling.
1.1
Sourness or peevishness of behaviour, character, or speech
Itu versi kamus Oxford.
Versi saya?
Vinegar.
Line breaks: vin|egar
Pronunciation: /ˈvɪnɪɡə/
"A sour-tasting feeling containing heartache, obtained by knowing someone you adore for sure are not worthy to be respected by someone who have a true and tender yet fragile like you, moreover when it caused by his/her peevishness of behaviour, character, or speech to you eventhough you have tried to do all your best for him/her"
Sakitnya tuh... di sini nih. (nunjuk dada, nepok jidat, elus-elus perut, tiduran guling-guling)
F.
Winter Wonderland
sleigh bells ring, are you listening
in the lane, snow is glistening
a beautiful sight, we're happy tonight
walkin' in a winter wonderland
gone away is the bluebird
here to stay is a new bird
he sings a love song as we go along
walkin' in a winter wonderland
in the meadow we can build a snowman
then pretend that he is parson brown
he'll say, "are you married?"
we'll say, "no man",
"but you can do the job when you're in town!"
in the lane, snow is glistening
a beautiful sight, we're happy tonight
walkin' in a winter wonderland
gone away is the bluebird
here to stay is a new bird
he sings a love song as we go along
walkin' in a winter wonderland
in the meadow we can build a snowman
then pretend that he is parson brown
he'll say, "are you married?"
we'll say, "no man",
"but you can do the job when you're in town!"
later on we'll conspire
as we dream by the fire
to face unafraid
the plans that we made
walkin' in a winter wonderland,
walkin' in a winter wonderland,
walkin' in a winter wonderland!
as we dream by the fire
to face unafraid
the plans that we made
walkin' in a winter wonderland,
walkin' in a winter wonderland,
walkin' in a winter wonderland!
Ini masih bulan kemarau. Bukan, bukan juga berarti dekat dengan hari Natal. Aku tidak tinggal di daerah subtropis di bagian selatan bumi. Aku tinggal di mana kuberada kini. Di tempat dengan kemaraunya yang sering kali didustai hujan. Diwarnai angin. Kemarau yang terbalik-balik. Tapi syukurlah, setidaknya kemarau semacam ini adalah kemarau sempurna, karena tetap membawa kesejukan dan penghidupan yang nyaman.
Ada apa dengan 'Winter Wonderland' ? Tidak mengapa. Aku hanya terbersit saja dengan iramanya yang manis, hangat, dan penuh kasih menurutku. Ketika nada pertama mulai dialunkan, aku merasa diterbangkan menuju suasana malam yang manis, hangat, dan penuh kasih. Walau salju yang aku tak tahu bentuknya seperti apa dan dinginnya seberapa terbayang menyelimuti sekitarnya, lagu ini membawa ke suasana bahagia seperti yang diceritakan lewat liriknya, irama lagunya, hentakkannya.
Kembali lagi ke tempat di mana aku berada. Di mana aku bangun dan tidur, duduk dan berdiri, berjalan dan berhenti, di bulan ini, masa kemarau yang kubilang kadang-kadang terdustai ini. Aku merasakan dingin juga di sini, dari angin yang hembusannya kerap membuatku menggerutu karena berhasil memporak porandakan rambutku yang ditatanya butuh 20 menit sendiri. Namun akhir-akhir ini, aku akui aku senang dengan angin kemarau tadi, apalagi di malam hari. Akhir-akhir ini, aku sangat mencintai malam hari, apalagi yang dapat dihabiskan bersama-sama.
Dengan siapapun yang membuatku senang untuk menghabiskan malam berangin kemarau bersamanya.
Bukan berarti aku sedang rutin pergi kencan, bukan. Meski aku berharap judulnya adalah kencan. Tapi kutahu, itu tidak tepat, itu tidak benar - sebentar, mungkin tidak sepenuhnya benar.
Sesekali kami makan malam bersama, tidak berdua, benar-benar bersama-sama dengan yang lain, meski kuharap berdua. Tapi kini tidak lagi, aku juga tak terlalu mengerti mengapa. Lalu ada lagi yang lain. Dan kami makan malam bersama, juga tidak berdua, benar-benar bersama dengan yang lain juga, meski kuharap juga berdua juga. Ujung-ujungnya apa? Aku bertahan berangin-anginan diterpa angin kemarau malam, hanya mencari momen, mengharap adanya keajaiban, berusaha menciptakan keajaiban.
gone away is the bluebird
here to stay is a new bird
i sings a love song as we go along
walkin' in a windy wonderland
here to stay is a new bird
i sings a love song as we go along
walkin' in a windy wonderland
Orang bilang aku terlalu mudah jatuh cinta. Aku menyangkal. Padahal aku juga tahu ada benarnya juga.
Aku tak mengerti tujuanku apa, aku masih bingung juga. Bukan lagi saatnya hanya untuk lucu-lucuan, untuk pura-pura bahagia di saat ingin benar-benar menangis, pura-pura sayang di kala kesal setengah mati. Bahkan hal semacam itu bukan hal yang lucu sama sekali.
he'll say, "are you married?"
we'll say, "no man",
"but you can do the job when you're in town!"
we'll say, "no man",
"but you can do the job when you're in town!"
Aku masih ada cita-cita dan mimpi. Tiada ruang untuk mengutamakan yang 'begituan', 'unyu-unyuan'.
Tidak juga berarti untuk tidak ada rencana ke sana.
Untuk menjadi realistis, aku masih memikirkan nasibku sendiri dulu, bukan nasib untuk bersama-sama, meski ingin sekali untuk ada yang mau bersama-samaku. Mungkin semuanya akan menjadi sulit? Tidak juga. Dan tidak juga akan benar-benar menjadi mudah.
Aku terlalu berbelit-belit? Memang.
later on we'll conspire
as we dream by the fire
to face unafraid
the plans that we made
walkin' in a windy wonderland,
as we dream by the fire
to face unafraid
the plans that we made
walkin' in a windy wonderland,
Setidaknya kini, untuk bersama-sama dengannya beberapa kali, itu menyenangkan.
a beautiful sight, we're happy tonight
walkin' in a windy wonderland
walkin' in a windy wonderland
walkin' in a windy wonderland
walkin' in a windy wonderland
we're happy tonight
13.8.14
Xilofon
Ting-tung-ting-tung-ting
Sebenarnya aku tidak begitu yakin benarkah bunyinya seperti itu. Bunyi xilofon. Dari xilo yang dipukul-pukuli dan menyiarkan foni. 'Ting-tung-ting-tung-ting' yang tadi, begitulah yang sering kudengar dari marching band universitasku, ketika mereka sedang bertampil. Pernah kudengar juga dari grup angklung SMP tetangga saat aku masih bocah SD. Belakangan ada 'xilofon-xilofonan' milik adik sepupuku yang masih bayi. Bunyinya ya begitu, 'ting-tung-ting-tung-ting'.
Mau dari xilofon asli ataupun xilofon adik bayi, aku tetap menikmati. Apalagi denting xilofon yang dibunyikan untuk mengusir sepi. Apalagi untuk mengusir sepinya hari. Hari-hari yang mengelabui dan juga mengelabukan hati. Meski di lain saat, aku merinding ngeri, karena belakangan bunyi xilofon yang sering mengisi kotak musik, kini sering ditampilkan pula di film-film hantu-hantuan. Aku anti film horor. Dan aku terlalu gemar berimajinasi juga terlalu pandai menyiratkan imaji. Aku terlalu terbayang-bayangi tiap malamnya sesudah aku menonton satu film seram walau sudah lewat delapan minggu sekalipun.
Ada yang bilang xilofon membosankan, bunyinya begitu-begitu saja. Tak akan bisa lebih cantik apabila tidak disertai tabuh-tabuhan lainnya. Bagiku tidak. Sama saja bukan seperti manusia, aku pun begitu. Aku tidak akan pernah merasa cantik sendiri. Aku harus butuh penyerta, yang mengiyakan aku cantik, atau bahkan yang lebih cantik dariku, sehingga mendorongku untuk berusaha lebih cantik lagi.
Sebenarnya aku bukan ingin menceritakan xilofon. Aku ingin bercerita tentang perasaanku.
Keinginanku.
Menjadi cantik.
Sebenarnya aku tidak begitu yakin benarkah keinginanku seperti itu. Menjadi cantik. Dari anak ingusan, menjadi remaja ingusan, dan sekarang aku kurang tahu aku sudah dewasa atau belum; umurku belum genap dua puluh tahun. Namun aku akan tetap ingusan, karena aku alergi dingin dan debu yang sangat sensitif sekali. Bukan, bukan karena aku ingusan aku meragu cantik (meskipun kutahu kau akan mulai memikirkan aku yang ingusan akan nampak seperti apa lalu pasti mengernyit dan bergidik jijik). Aku hanya tidak percaya diri bahwa aku cantik.
Maka, ketika ada seseorang yang bilang kepadaku, aku tak tahu itu bercanda atau pujian, ketika dia bilang "kamu cantik."
Apalagi kalau orang itu berlawanan jenis denganmu. Dan sedikit tampan.
Bohong, sih. Tidak sedikit tampannya.
Serba salah nggak, sih? Ketika kamu tidak yakin kamu cantik atau tidak, lalu ada orang ganteng yang bilang kamu cantik, jujur saja aku makin merasa tidak yakin. Semakin malu. Semakin tidak percaya diri. Meski di lain sisi, aku merasa semakin besar rasa.
Ting-tung-ting-tung-ting
Aku sedang berpura-pura memainkan xilofonku. Bohong. Aku tidak memiliki xilofon. Bohong pula, kalau aku bilang "aku sedang berpura-pura memainkan xilofon" karena aku menggumamkan suara di bibirku menirukan foni dari xilo yang dipukul-pukuli. Sementara hatiku juga bermain-main sendiri, menggumamkan satu nama.
Nama seseorang yang kalau kubilang dia tidak tampan maka aku akan berbohong lagi.
Aku tak mau lagi berbohong. Terutama membohongi diriku, hatiku.
Aku jujur ingin selalu cantik, di matamu.
Hatiku sedang menggumamkan satu nama,
namamu.
Yang
Yang,
Ini aku, yang menulisimu. Yang ingin mengatakan yang ingin
kukatakan padamu, yang. Tak apa bila kau sudah tidur. Aku tahu hari-harimu
lelah minggu ini. Aku tahu. Walau kutahu kau akan bilang bahwa aku tak
mengerti. Aku mengerti, yang, kalau kau mau begitu. Setidaknya kau perlu tahu,
bahwa aku tahu, cukup tahu.
Andai saja pikiran yang kini sedang berusaha menata hati
yang ingin menata rangkaian kata yang kuketikkan lewat sepuluh jariku yang
hanya akan lentik bila kukunya dipanjangkan ini tidak perlu bekerja sama dengan
tangan melainkan dengan bibir, kau tahu, yang? Tentu akan kuhubungi nomor
telepon genggam milikmu saat ini juga. Tak peduli walau kini kamu sudah tidur
karena hari-hari lelahmu di minggu ini, karena benar-benar ingin berbincang denganmu.
Yang, tadi sore, entah apa itu sudah malam, atau baru
menjelang malam, aku tak tahu jelas, yang kutahu, tadi kita berjumpa, bukan
begitu, yang? Apakah kita bertegur sapa? Kurasa tidak. Apakah aku ramah padamu?
Kurasa ragu. Apakah kamu senyum padaku? Aku bimbang untuk bilang ‘ya’. Yang, 24
jam dapat mengubah segalanya. Kuharap bukan karena pesan singkat yang kukirim
via ponsel kepadamu, kuharap bukan karena hal yang seharusnya tak perlu
kubahas, yang tak ingin kubahas, yang mungkin tak juga ingin kau bahas, aku yang salah adalah aku yang bilang padamu
“jangan demi aku.”
Yang,
Aku bukan dukun. Aku juga bukan ahlinya dalam menerka orang,
terutama yang sepertimu, yang. Yang, aku menaruh harapan padamu, harapan yang
terkadang membuatku lupa diri sendiri, terlarut dalam angan-angan sendiri,
dalam mimpi, yang – maaf, bukan karena aku pesimis – namun aku tahu, ini tidak
realistis. Kamu, aku, sama-sama berkutat dengan perkuliahan yang menuntut untuk
kritis, terstruktur, menciptakan dan membuktikan hipotesis, diagnosis.
Ini beda, yang, yang perlu kita telusuri bersama tentang
perasaan hati. Yang bisa bikin kita bodoh, lemah, buta apa yang disebut kritis,
tak mampu lagi menyusun segala sesuatunya dengan rapi, tak lagi bisa
menghipotesis, mendiagnosis, boro-boro
membuktikan. Aku tidak berani membuktikan apa namanya dari semua yang kau
lakukan, yang keseluruhan manis dirasa di minggu ini. Yang, jangan segera
menyimpulkan bahwa aku menghindarimu, dirimu yang melakukan ini-itu dengan
manis, yang kuharap dengan sejumput rasa sayang. Yang perlu kau tahu adalah aku
menghargai setiap tatapan mata, jabat erat, belaian halus yang penuh rasa
hormat, terutama saat kau membenahi rambutku yang mencuat, kaulah yang pertama
selain ibu, bapak, kakak, dan teman perempuanku.
Yang, seharusnya aku tidak memanggilmu ‘yang’. Tapi kau
perlu tahu, kalau kau begitu terus – melakukan hal-hal yang manis-manis yang
penuh perhatian – aku bisa jadi sayang sama kamu.
Zathura
Once, I saw a movie, titled Zathura
Twice, I saw Zathura
Third, I saw Zathura
I started to know the next scene when I still on the
previous
Fourth, Fifth, and so on
Bored, for sure.
It has been a long time not to see Zathura
Somehow, I want to play that boardgame
Hoping I will receive a card
That allows me to make a wish
Considers making a wish to make my brother go away
The one who is annoying the most
I do not have any brother
There are two girls given to me
Two girls who turn to women day by day
Who are annoying the most, sometimes
Now they are, this time
And I wish I could
throw them away
And pull myself away
But I wish
Zathura will not allow to be played
By the broken hearted girl
Who feels lonely day by day
Who misses her sisters the most
Sisters who onced she knows the most
Even it played by the happiest one
I wish
Zathura can be won
Without losing any memories, any hope
Any pain
Any blessedness
To have what we have had now
What I have had now
1.8.14
Hanna Ayu
Kalau ditanya, "Fanya, lagi kangen siapa?" mungkin saya bisa jawab aneh-aneh.
Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya saya lagi kangen Hanna dan Ayu :')
Mereka ini teman saya di SMA. Sebenarnya Hanna sudah saya kenal lebih lama dari Ayu, yaitu sejak di kelas 7 di SMP dulu. Sementara Ayu kukenal waktu masuk Asrama Providentia tahun 2010 yang lalu.
Kami bertiga pernah sering bareng-bareng ke mana-mana waktu di akhir kelas 10 dan di kelas 11. Sisanya aku yang hilang duluan dari mereka, terlalu sibuk dengan urusan ini itu yang mereka tak campuri, terlalu banyak teman lain yang perlu diurusi, ujung-ujungnya sih aku terlihat sibuk sendiri.
Bahkan kami dulu punya buku harian untuk diisi bertiga, untuk curhat, untuk menulis harapan-harapan tentang diri sendiri dan tentang hari-hari ke depan agar tetap dijalani bersama-sama. Diisi satu minggu sekali, bergilir. Baru sampai di minggu ke 6, semuanya terhenti. Siapa penyebabnya? Aku. Kurasa saat itu aku mulai tidak mau lagi berbagi dengan mereka. Awalnya karena tak mau membebani, lama-lama karena memang lagi tak ingin berbagi, karena ragu mereka akan mengerti.
Padahal kutahu bila kupaksa untuk menulis maka mereka akan berusaha mendukungku. Dan akan selalu mendoakanku, saat aku main futsal, atau apapun itu.
I doubted you two. I was.
Sifat egosentris ku lah yang benar kusadari aku kerap kali jauh dari mereka. Tapi aku sayang dengan mereka. Maafkan aku, teman, kita yang pernah baik dan dekat dan kemudian hanya bisa menjadi baik dan dekat yang tidak sedekat dahulu, kini hanya bisa baik. Kuberharap kalian akan selalu baik-baik saja, tetap berbuat baik, dan akan selalu menjadi lebih baik. I love you, Ayu, Hanna.
Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya saya lagi kangen Hanna dan Ayu :')
Mereka ini teman saya di SMA. Sebenarnya Hanna sudah saya kenal lebih lama dari Ayu, yaitu sejak di kelas 7 di SMP dulu. Sementara Ayu kukenal waktu masuk Asrama Providentia tahun 2010 yang lalu.
Kami bertiga pernah sering bareng-bareng ke mana-mana waktu di akhir kelas 10 dan di kelas 11. Sisanya aku yang hilang duluan dari mereka, terlalu sibuk dengan urusan ini itu yang mereka tak campuri, terlalu banyak teman lain yang perlu diurusi, ujung-ujungnya sih aku terlihat sibuk sendiri.
Bahkan kami dulu punya buku harian untuk diisi bertiga, untuk curhat, untuk menulis harapan-harapan tentang diri sendiri dan tentang hari-hari ke depan agar tetap dijalani bersama-sama. Diisi satu minggu sekali, bergilir. Baru sampai di minggu ke 6, semuanya terhenti. Siapa penyebabnya? Aku. Kurasa saat itu aku mulai tidak mau lagi berbagi dengan mereka. Awalnya karena tak mau membebani, lama-lama karena memang lagi tak ingin berbagi, karena ragu mereka akan mengerti.
Padahal kutahu bila kupaksa untuk menulis maka mereka akan berusaha mendukungku. Dan akan selalu mendoakanku, saat aku main futsal, atau apapun itu.
I doubted you two. I was.
Sifat egosentris ku lah yang benar kusadari aku kerap kali jauh dari mereka. Tapi aku sayang dengan mereka. Maafkan aku, teman, kita yang pernah baik dan dekat dan kemudian hanya bisa menjadi baik dan dekat yang tidak sedekat dahulu, kini hanya bisa baik. Kuberharap kalian akan selalu baik-baik saja, tetap berbuat baik, dan akan selalu menjadi lebih baik. I love you, Ayu, Hanna.
Subscribe to:
Posts (Atom)