14.7.15

Tiga Belas Juli

Hari ini, 13 Juli 2015.
Pukul lima sore tadi, ada pengumuman penerimaan mahasiswa baru UI untuk tahun akademik 2015/2016. Saya rasa, ini adalah pengumuman terakhir dari seluruh rangkaian jalur yang ada untuk masuk ke UI, untuk jenjang S1 maupun D3.

Saya juga dulu masuk UI lewat jalur SIMAK tahun 2013. Lagi-lagi saya melihat kata "SELAMAT" di website pengumuman setelah saya masukkan nama lengkap dan nomor pendaftaran. Saya tersenyum.

Lalu di bawahnya ada tulisan "Vokasi", selanjutnya ada tulisan "Fisioterapi".

Saya jadi kembali teringat, tertarik mundur ke masa 'buka pengumuman SIMAK'. SIMAK UI 2013 diumumkan tanggal 19 Juli, bukan 13 Juli. Hari Jumat, bukan hari Senin. Pukul delapan pagi, bukan lima sore. Entahlah, nampaknya bagi saya hari Jumat lebih keramat bila dibandingkan dengan hari Senin. Lebih barokah, apa mungkin karena pengaruh adanya ibadah mendirikan shalat Jumat - saya tidak tahu. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dahulu jatuh di hari Jumat, konon katanya Bung Karno yang sudah diculik dari semalam sebelumnya memang bersikeras menunggu fajar terbit hingga datanglah hari Jumat itu; hari baik, untuk mendirikan negaranya, untuk memulai sesuatu dengan niatan amat baik sebulat hati. Untuk hal ini, saya dapat dari khotbah misa waktu 17 Agustus 2008 dari seorang Romo di Bandung. Tapi tenanglah, kawan, keduanya sama-sama diumumkan saat bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, bukan? Jujur untuk hal ini saya cuma bisa tahu dari iklan-iklan di televisi, terutama dari iklan sirup merah dan hijau yang segar itu, tapi saya percaya, kok, Ramadhan adalah bulan penuh berkah.

Kembali ke 19 Juli. Tahun 2013, ya, yang tahun ini, kan, masih nanti, 6 hari-an lagi.

Membuka pengumuman SBMPTN 2013 saya lakukan di kamar tidur saya, meskipun tidak sepenuhnya benar, karena toh saya minta dibukakan lebih dulu oleh kakak saya dari Jakarta. Untuk SIMAK, saya buka di depan Gedung Sate, Bandung. Momentual sekali? Tidak, saya tidak bermaksud sengaja demikian. Namun memang ada kegiatan juga yang seharusnya dilakukan dengan gembira. Seharusnya.

Kalau boleh bercerita, saya pernah membuat janji untuk bertemu di depan Gedung Sate pada seseorang. Di hari Jumat yang tanggal 19 Juli itu. Pukul tujuh pagi. Rumah saya yang saat itu memang masih di Kota Cimahi mau tidak mau menghendaki saya untuk pergi meninggalkan rumah seminimal-minimalnya pukul enam kurang lima belas. Saya sudah meminta izin dari 14 Juli 2013, kepada ibu saya. Tentu ia mencak-mencak, ngapain sih anak perempuan pergi kok nyamperin yang laki-laki, begitu katanya.

"Kok main jauh-jauh, sepedahan lagi, minta jemput aja, makan siang saja itu, di Cimahi Mall, atau di mana kek, kalau kamu memang mau mentraktir dia makan dalam rangka syukuran dapat kuliahan!"

Bukan mau traktir makan, Bu, aku mau main sepeda bersamanya.

"Pengumuman UI mu kapan?"
"Hari yang sama, Bu."
"Tuh, kan, kamu ini kok bisa-bisanya memikirkan pergi main, bukankah kita sudah sepakat, kalau kamu tidak lolos, kamu akan segera ke bank untuk membayarkan biaya daftar ulang untuk UNPAD?"

"Jangan hari itu lah, Dik, hari lain saja, bilang seperti itu sama dia!"

Tapi dia maunya hari itu.


Kenapa, sih, Dik, apa-apa maunya dia terus yang dituruti. Segitu sukanya apa sama dia?

Jangan menatapku seperti itu, Ibu.

Jangan memohon-mohon seperti itu, menempatkan dirimu sendiri di posisi sulit. Berapa kali lagi kamu akan pulang dengan menangis sehabis bermain dengannya, Dik?



Ibu bilang jangan, ya? Dik?

Tapi, kita nggak pernah tahu, Bu, kapan saya ketemu lagi sama dia. Kita nggak pernah tahu. Kami juga nggak pernah tahu.

"Terserah kamu, Dik, kamu sudah tahu, kok, cara membereskan semuanya!"

Ya, siap! Aku bisa, kok, aku pintar menyusun waktu. Aku pintar, Bu, toh menurun darimu juga.


Pada waktunya, aku bangun pagi-pagi sekali dengan bersemangat. Sayang, niatanku untuk mengendap-endap pergi gagal sudah. Ibuku sedang menggoreng nasi saat aku selesai mandi. "Setidaknya sarapan dulu, lalu biar nanti diantar Bapak ke tempat Septi, nanti kalau sudah selesai bermain minta jemput lagi sama Bapak. Kalau jadi ke bank, biar pergi sama Bapak."
***
Saya diturunkan di depan Rumah Sakit Santo Borromeus.

"Septi sudah datang?"

"Katanya, sih, lagi di jalan. Mungkin sebentar lagi, kan dekat."

"Okay, nanti telepon Bapak, ya, kalau sudah selesai." Kemudian ayahku berlalu. Kemudian aku berbalik, dan berjalan kaki. Menuju rumah Septi. Mana ada Septi yang ke sini, bawain sepedanya, aku tadi bohong. Saat itu Septi sedang ikut kerja sama tantenya di kantor pusat statistik. Septi dan aku sudah membuat perjanjian, bahwa pukul setengah tujuh pagi aku mau pinjam sepedanya, dan Septi juga berjanji bahwa ia meminjamkannya dan menitipkan segala urusannya pada ibunya. Dan budenya. Saya cukup menemui mereka saja.

Janji tertepati.
"Tapi, Neng, ini gembos sedikit. Septi juga nggak ngecek," ibunya Septi menyerahkan sepedanya kepadaku. Kulihat, jam sudah menunjuk ke setengah tujuh lebih lima.

"Itu di depan, ada tukang angin."

"Iya, ada, tadi saya lewatin. Udah buka juga, kok. Terima kasih ya, Bu."

"Oh, alhamdullillah kalau gitu mah. Mau main sepeda kemana sih emangnya teh?"

"Gedung Sate"

"Udah aja?"

"Belum tahu lagi nanti ke mana, saya sama teman, hehe."

"Oh ya ya, hati-hati ya, Neng."

"Nanti kalau sudah selesai, saya langsung ke sini. Sekalian mau ketemu Septi kalau sudah pulang."

"Iya Septi mah pulangnya masih siang."

"Jalan dulu ya, Bu."

"Hati-hati ya Neng." Aku jadi merasa tidak enak karena dilepas ibunya Septi dengan tatapan iba untukku, yang menuntun sepeda lama anaknya ke tukang pompa ban. Aku tidak enak karena merasa bahwa ibu Septi tidak dapat meminjamkan sepeda anaknya dalam kondisi baik. Ya, aku jadi tambah merasa bersalah membuat ibunya merasa tidak enak padaku, padahal aku yang merepotkan karena pagi-pagi sudah ketuk pintu.
***

"Lagi puasa olahraga, ga capek, Neng?" tanya tukang pompa ban sesaat setelah selesai mengencangkan pentil ban belakang sepeda Septi.

"Belum juga dikayuh, ya belum tahu capek apa engga, Mang. Hehehe."

"Hehehehe. Main ke mana emangnya?"

"Gedung Sate aja."

"Oh, deket, cuma teh masih rame mobil ga pas nyebrangnya," ia menerima uang yang kubayarkan, "eh tapi bulan puasa mah meureun sepi, da udah peré sakola gé."

"Nuhun, Mang." Segera kunaiki sepeda Septi dan mulai kukayuh. Ringan, ringan habis dipompa bannya terasa sekali. Kulewati kembali rumah Septi yang berseberangan persis dengan Graha Sanusi Hardjadinata yang ada di kompleks UNPAD Dipati Ukur, gedung yang menjadi tempat para jebolan UNPAD digeser pita toganya oleh sang rektor. Kakakku, Mbak Fina, juga diwisuda di situ. Waktu aku tidak bisa masuk karena undangan hanya untuk 2 orang (asumsinya untuk orang tua wisudawan/i saja), aku main-main di temat Septi. Sepeda yang kukayuh terus melaju, bahkan semakin cepat tanpa usaha yang sengaja ditingkatkan, karena jalanan memang menurun. Saya merasa pagi itu semesta mendukung sekali, karena saya akan menemuinya tak perlu dengan wajah lelah yang berpeluh.

Hampir tujuh lebih sepuluh, saya melirik jam di tangan kiri saya saat melewati jalanan di depan Telkom. Sekitar 500 meter lagi, maka saya akan sampai. Radius 30 meter dari kejauhan saya memicingkan mata ke arah tangga-tangga Lapangan Gasibu yang menghadap persis ke Gedung Sate. Ada sekitar 3 orang, 2 laki-laki, 1 perempuan, tak ada satu pun yang membawa sepeda. Hidung saya mulai mengembang dan mengeluarkan suara seperti dengusan - ya seperti dengusan, karena saya benar-benar tidak mau kesal, perasaan sebal hanya akan merusak pagi; pagi yang telah disepakati untuk menjadi pagi yang indah. Toh, saya pun terlambat.

Saya menaikkan sepeda ke trotoar, memarkirkannya dekat saya duduk di anak tangga, dan kaki saya segera diselonjorkan. Satu perempuan sedang duduk bersama satu laki-laki, perempuan itu sedang menelepon dan sedikit berteriak-teriak kepada yang di seberang saluran. Laki-lakinya sibuk menstarter motor yang juga di atas trotoar, agak sedikit mogok tapi syukurlah lekas menyala. Laki-laki yang lain yang kulihat dari kejauhan rupanya seorang tuna wisma yang kurasa kurang waras, terlihat dari rambutnya yang panjang gimbal sekali, pakaian compang camping, ia sedang tertidur. Jantungku jadi berdegup, takut-takut kalau ia bangun nanti, segera 'menerkamku'; entah memukul, atau memeluk? Atau melempariku dengan batu, atau malah menelanjangi dirinya di hadapanku, oh tidak itu seram sekali, belum lagi aku takut dia akan menyerang dengan meludah atau mengencingi.

Ya Tuhan, lindungilah aku, sepenggal doaku begitu di dalam hati.

Mengamat-amati sekitar (dan berkhayal diserang orang gila) seperti itu ternyata hanya membunuh sedikit waktu. Masih tujuh lebih lima belas, tapi jarum panjangnya nampak geser sedikit dari angka 3, lebih dua sampai tiga strip. Kulempar pandanganku ke sisi kiriku. Kemungkinan besar dia datang dari sana. Mungkin. Tapi besar, kok, kemungkinannya. Aku mula meyakin-yakinkan diri.

Sampai setengah delapan aku hanya menonton kendaraan yang ramai berseliweran di jalanan di hadapanku. Jam delapan nanti pengumumanku bisa diakses online. Pasangan suami istri yang motornya tadi sedikit mogok sudah pergi dari tadi. Orang gila yang tadi tidur juga tanpa kusadari sudah tidak di tempatnya lagi, entah dia pergi berjalan ke mana, yang jelas ia pergi tanpa menyerang. Angin pagi meniup, sedang matahari masih malu-malu muncul, udara khas Bandung mulai menelusup, dan saya tidak pakai jaket. Padahal sudah setengah delapan. Sambil menggosok-gosokkan tangan saya putuskan berdoa rosario. Kayaknya waktu akan terlewati tanpa betul-betul terasa dengan berdoa panjang macam rosario, pikirku. Saya memang sering berosario untuk mempersingkat waktu dalam menunggu, waktu mau dioperasi untuk pertama kalinya, satu jam sebelum waktu yang ditetapkan saya sudah diboyong ke kamar operasi. Pakaian sudah diganti dengan kain bertali di bagian punggung, seperti baju tapi tidak dijahit, dan itu tipis sekali. Sambil kedinginan  dalam posisi terlentang di atas meja operasi, saya memejamkan mata lalu berdoa, tanpa mengatup tangan. Tangan kiri yang hendak dioperasi sudah diposisikan dan otot-otot saya juga melemah karena sudah 2 minggu lebih tidak bergerak karena dibidai. Tangan kanan juga sudah terpasang infus. Ketika melek, lampu operasi sudah menghadap ke bawah memelototi wajahku. Beberapa saat kemudian terdengar suara dr. Jeff, dokter bedah tulangku, disusul dengan entah itu siapa (perawat atau asisten anastesi, aku nggak tahu) memasangkan sungkup untuk membiusku.

Pagi itu dingin tapi saya tidak kedinginan. Tidak juga terlentang di meja operasi. Tapi saya juga berdoa rosario. Memohon supaya nanti pengumumannya tidak membuatku bersedih, dalam artian kalau lolos ya bahagia dan minta dibikin tidak jumawa, tidak lolos ya minta dibesarkan hatinya dan siap masuk ke UNPAD dengan tanpa rasa sesal dan sesak. Juga minta si dia cepat datang. Kututup doaku setelah selesai, dan kulihat dari layar handphoneku supaya langsung yakin pukul berapa: 07.50. Astaga, kurang 10 menit untuk sampai ke pukul delapan. Apa lagi yang mesti kulakukan? Kemudian saya memalingkan wajah ke arah 'berkemungkinan besar dari sana lah ia datang'. Eh, apa dia lupa, ya?

Apa mungkin tidak datang?

Mungkin.

Apa mungkin ia datang dari sana juga mungkin.

Apa mungkin ia datang?

Mungkin.

Ah, masa iya, kok tega amat sih dia begitu.

Nggak lah, nggak mungkin tega.

Eh tapi bisa aja tega. Mungkin.

Ah, enggak-enggak, palingan lagi di jalan.

Mungkin.

Di sms aja kali ya, apa telepon?

Tapi kan lagi di jalan?

Coba aja lah.

Saya mencoba menghubungi orang yang dimaksud. Satu kali menelepon. Dua kali menelepon. Tidak ada jawaban.

Mungkin handphone di-silent.

Ya mungkin memang masih di jalan.

Mungkin apa memang? Mungkin saja lah.

Bersabarlah, Fanya, jangan jadi orang yang menyebalkan dan memburu-buru, jangan merusak pagi yang disepakati menjadi pagi yang menyenangkan.

Tidak apa-apa menunggu. Tidak apa-apa menunggu.

Sesibuk itulah saya bertanya-jawab, lalu kembali meyakin-yakinkan diri sendiri. Akhirnya saya putuskan untuk counting down untuk lihat pengumuman hasil SIMAK. Hingga akhirnya pukul delapan datang juga, saya akses halaman website via handphone dan sangat menyenangkan websitenya tidak semacet untuk pengumuman SBMPTN. Saya melihat kata "SELAMAT" di website pengumuman setelah saya masukkan nama lengkap dan nomor pendaftaran. Saya tersenyum.

Lalu di bawahnya ada tulisan "Vokasi", selanjutnya ada tulisan "Fisioterapi". Vokasi. Fisioterapi. Vokasi itu D3. Fisioterapi itu ilmu kesehatan. Lalu muncul bayangan Graha Sanusi yang tadi saya lewati. UNPAD. S1. Bukan ilmu kesehatan. UI........... Di bawah pemikiran itu saya menelepon Mbak Fina, yang juga susah di Jakarta.

"Wah selamat ya! Lalu adik mau yang mana?"
"Nggak tahu..."
"Ibu bapak gimana?"
"Apa saja kan memang selalu didukung. Kecuali waktu aku mau pilih ke IKJ atau masuk Filsafat UI atau Filsafat UNPAR."
"Ya sudah, dipikirkan saja, semalam dulu tunggu."
"Ya tapi kan aku harus bayar UNPAD hari ini."
"Iya juga ya......"


"Tapi sudahlah, dik, pilih yang benar-benar ingin kamu pilih, ya?"
"Ya."
Dari kejauhan tampak sesosok yang senyam-senyum, bertopi, mengayuh sepedanya, menghampiriku.
"Sudah dulu ya, Mbak!"
Klik!


***
"Sebentar ya, minum dulu, capek juga dari rumah."

Aku senyum lebar sekali, tapi belum mau berkata-kata. Tapi aku gembira dia datang.

"Wah dari Cimahi nih? Jago amat!"

Aku senyum sambil menaik-naikan alis. Membuatnya menyampaikan ketidakyakinannya, "Sepeda dari mana sih ini?"

"Dari ada lah pokoknya haha." Senyumku bertambah ceria. Ia mengangguk-angguk dengan senyumnya juga. Aduh, campur aduk hatiku. Memberanikan diri, kubuka percakapan, yang syukurnya disambut dengan semangat. Pembicaraan yang cukup serius, tapi tetap menjaga pagi yang memang disepakati untuk membahagiakan.

"Jadi, Jatinangor nih?"
Aku masih senyum-senyum, "Hm, gimana ya?"
"Jadi jauh dong."
"Jauh apa?"
"Ya," dia mengangkat kepalanya ke arahku, seakan ingin mengganti kata 'kamu/elo/situ' dengan gerakan kepalanya itu, "jadi jauh."
Ia meneguk minumnya lagi, buru-buru, jangan sampai orang-orang yang sedang berpuasa menyadari ia minum.
"Oh itu," aku berusaha nyambung, "aku kuliah di Nangor mah tetep tinggal di Cimahi."
"Iya?"
"Kakak gue juga gitu. Gak dibolehin ngekos."
"Oh, bagus lah."

Kemudian hening menjeda perbincangan kami, disusupi lagi angin yang sejuk. Matahari mulai bisa membentuk bayangan benda-benda dengan pancaran sinarnya. Belum panas, masih haneut moyan walau aku tak tahu apakah itu asih jamnya untuk masa haneut moyan.

Tapi, aku kan mau ke UI.
Eh?
Iya! Aku ke UI. Fanya ke UI. Maria Stefania Kusumastuti ke UI.

"Kalau aku lebih jauh dari itu, gimana?"
"Maksudnya?"
"Kayaknya sih lebih jauh dari itu. Ke Jakarta, mungkin?"
"Oh."

Angin berhembus lagi. Tidak dingin. Tidak sedingin wajahnya. Aku menggigit-gigiti bibirku, mengelupasi kulit-kulit kering di permukaannya. Kuharap aku tidak salah. Kuharap kata-kataku tidak salah. Ya Tuhan, mengapa mukanya jadi kayak gitu? Aku salah kah?

"Lu daftar UI juga?" Sambil memandangi Gedung Sate aku mengangguk mengiyakan.

Hening menjeda.

"Pengumuman kapan?"
"Tadi, jam 8."

Hening menjeda. Agak lebih lama dari yang sebelumnya.

"Trus?"
"Masuk."

Hening menjeda hampir sama dari dua yang sebelumnya.

"Jurusan?"
Fisioterapi.
"Itu S1 apa D3?"
D3.

Dan hening benar-benar hadir di antara kami. Wajahnya bertambah dingin. Saya tak lagi menggigit-gigiti bibir, tapi saya jauh lebih gelisah. Habis ini apa? Habis ini apa? Habislah aku, habis ini aku akan pulang sendiri balik ke rumah Septi.

Hening yang panjang akhirnya ditutupnya sendiri, "ayo mau ke mana?"
"Terserah?"

Dan air muka dari kedua kami tidak ada lagi yang bersemangat. Kami mengingkari kesepakatan kami. Kami merusak pagi. Bermain sepeda tidak lagi menjadi permainan yang mengasyikkan apalagi menyenangkan. Dan bahkan tidak lagi menyehatkan karena memang pada waktu itu rasanya sakit sekali. Bersepeda di belakangnya di saat harusnya kami bisa bersepeda bersisian, sama ketika nonton di bioskop atau waktu duduk berbincang di bawah pohon di GOR Saparua. Sakit sekali ketika awalnya saya sempat memikirkan akan berfoto bersama karena "sudah sama-sama mahasiswa" tapi saat itu saya cuma bisa memotret bayangan saya sendiri, di atas sepeda Septi.


Entahlah, tapi saya ingin sekali menuliskan ini. Sakit sekali rasanya bersepeda di hari itu, ketika ia mulai memilih jalur ke arah sekolah kami, SMA kami, dan hembusan angin Bandung mulai mengantar firasat kepadaku: bahwa ia ingin pulang ke rumahnya. Lalu aku bagaimana? Aku tidak tahu.

Hingga tiba di persimpangan, tepat ketika lampu merah berganti jadi hijau, ia meluncur cepat ke arah rumahnya, berpamit seadanya, tertutup pula ucapannya dengan klakson-klakson kendaraan yang riuh mengusirku; aku yang bengong di atas sepeda dan bingung harus mengejarnya dengan belok ke kanan atau ke kiri langsung pulang kembali ke rumah Septi. Aku diklaksonin orang. Aku ditinggal di lampu merah. Aku bingung. Aku pasti dilihat orang banyak itu. Aku lolos SBMPTN lolos SIMAK UI tapi kok dibodohin gitu aja rasanya? Sakit? Sakiiiiiiiit laaaaaaaaaah.

Segera saya kayuh sepeda saya dengan cepat. Oya, saya belok kiri. Walau jalannya menanjak, saya sama sekali tidak menyesal. Saya tidak mau menoleh ke belakang sedikit pun. Berharap apa? Tidak, tidak berharap kalau nengok masih ada dia. Satu-satunya yang saya harapkan adalah untuk memutar waktu dan tidak membiarkan pernah terjadi apa-apa bersamanya. Memang, kami tidak pacaran, tapi untuk nonton bareng dan makan bareng walau cuma 4-5 kali menurut saya saat itu sudah menjadi apa-apa. Dan perbuatan meninggalkan saya di lampu merah? Tentu itu adalah sebuah 'apa-apa' yang sebenarnya ingin diperhitungkan. Belum lagi sakitnya. Termasuk rasa sakit saya karena menyakiti hati orang lain: hati ibu saya jika mendapati saya menangis lagi bila bersamanya. Hati bapak saya yamg saya bohongi supaya dia tidak khawatir dengan tingkah anaknya sendiri demi bersamanya.
Hati ibunya Septi yang kecewa sendiri karena tidak bisa meminjamkan sepeda yang baik, dan yang paling penting saya memikirkan seseorang yang terpaksa saya sakiti untuk bertahan mencoba membuat 'apa-apa' menjadi 'sesuatu' bersama orang yang....eh....bikin saya sakit. Hm. (Ngomong-ngomong ini tidak lagi tanggal 13 Juli, melainkan tanggal 14 Juli -duh saya menulis ini lama juga ya dari pukul 23.00 dan belum selesai haha. Oiya, 14 Juli, selamat ulang tahun untuk teman SMA saya, Alexander Julianto!)




Ya, begitulah. Juli 2 tahun lalu. 2 tahun saya tidak pernah mengungkit masalah ini kepada dia yang menyakitiku (dulu, sekarang beneran deh, aku nggak mempermasalahkannya) di 19 Juli 2013, hari pengumuman hasil SIMAK 2013, hari Jumat, hari penuh barokah, di bulan Ramadhan pernuh berkah, hari di mana saya diterima masuk UI di Vokasi untul Ilmu Fisioterapi. Belum pernah saya bicarakan sebelumnya, meski hubungan kami sekarang ya lancar saja sebagai teman, ketika Pilpres Juli 2014 lalu saja kami saling mengomentari DP BBM masing-masing yang pamer jari bertinta ungu. Dia kan menyakiti Fanya yang berusia 18 tahun. Sejauh ini, di usia saya yang sekarang, dia tidak berbuat yang macam-macam: tidak menyakiti, tidak juga membahagiakan :) Saya yang umur 20, juga tidak menaruh dendam, tapi tidak mungkin pula lupa.

Salam,
Stefania



Nb.: sekali lagi selamat bergabung ke dalam sivitas akademika UI bagi yang lolos untuk jadi bagian dari "Class of 2015" yay! Di UI juga ada banyak sepeda kuning yang biaa dipinjam secara cuma-cuma oleh para mahasiswanya, jadi, kapan mau bersepeda bersama-sama? :)

No comments:

Post a Comment