Yang,
Ini aku, yang menulisimu. Yang ingin mengatakan yang ingin
kukatakan padamu, yang. Tak apa bila kau sudah tidur. Aku tahu hari-harimu
lelah minggu ini. Aku tahu. Walau kutahu kau akan bilang bahwa aku tak
mengerti. Aku mengerti, yang, kalau kau mau begitu. Setidaknya kau perlu tahu,
bahwa aku tahu, cukup tahu.
Andai saja pikiran yang kini sedang berusaha menata hati
yang ingin menata rangkaian kata yang kuketikkan lewat sepuluh jariku yang
hanya akan lentik bila kukunya dipanjangkan ini tidak perlu bekerja sama dengan
tangan melainkan dengan bibir, kau tahu, yang? Tentu akan kuhubungi nomor
telepon genggam milikmu saat ini juga. Tak peduli walau kini kamu sudah tidur
karena hari-hari lelahmu di minggu ini, karena benar-benar ingin berbincang denganmu.
Yang, tadi sore, entah apa itu sudah malam, atau baru
menjelang malam, aku tak tahu jelas, yang kutahu, tadi kita berjumpa, bukan
begitu, yang? Apakah kita bertegur sapa? Kurasa tidak. Apakah aku ramah padamu?
Kurasa ragu. Apakah kamu senyum padaku? Aku bimbang untuk bilang ‘ya’. Yang, 24
jam dapat mengubah segalanya. Kuharap bukan karena pesan singkat yang kukirim
via ponsel kepadamu, kuharap bukan karena hal yang seharusnya tak perlu
kubahas, yang tak ingin kubahas, yang mungkin tak juga ingin kau bahas, aku yang salah adalah aku yang bilang padamu
“jangan demi aku.”
Yang,
Aku bukan dukun. Aku juga bukan ahlinya dalam menerka orang,
terutama yang sepertimu, yang. Yang, aku menaruh harapan padamu, harapan yang
terkadang membuatku lupa diri sendiri, terlarut dalam angan-angan sendiri,
dalam mimpi, yang – maaf, bukan karena aku pesimis – namun aku tahu, ini tidak
realistis. Kamu, aku, sama-sama berkutat dengan perkuliahan yang menuntut untuk
kritis, terstruktur, menciptakan dan membuktikan hipotesis, diagnosis.
Ini beda, yang, yang perlu kita telusuri bersama tentang
perasaan hati. Yang bisa bikin kita bodoh, lemah, buta apa yang disebut kritis,
tak mampu lagi menyusun segala sesuatunya dengan rapi, tak lagi bisa
menghipotesis, mendiagnosis, boro-boro
membuktikan. Aku tidak berani membuktikan apa namanya dari semua yang kau
lakukan, yang keseluruhan manis dirasa di minggu ini. Yang, jangan segera
menyimpulkan bahwa aku menghindarimu, dirimu yang melakukan ini-itu dengan
manis, yang kuharap dengan sejumput rasa sayang. Yang perlu kau tahu adalah aku
menghargai setiap tatapan mata, jabat erat, belaian halus yang penuh rasa
hormat, terutama saat kau membenahi rambutku yang mencuat, kaulah yang pertama
selain ibu, bapak, kakak, dan teman perempuanku.
Yang, seharusnya aku tidak memanggilmu ‘yang’. Tapi kau
perlu tahu, kalau kau begitu terus – melakukan hal-hal yang manis-manis yang
penuh perhatian – aku bisa jadi sayang sama kamu.
No comments:
Post a Comment