Ting-tung-ting-tung-ting
Sebenarnya aku tidak begitu yakin benarkah bunyinya seperti itu. Bunyi xilofon. Dari xilo yang dipukul-pukuli dan menyiarkan foni. 'Ting-tung-ting-tung-ting' yang tadi, begitulah yang sering kudengar dari marching band universitasku, ketika mereka sedang bertampil. Pernah kudengar juga dari grup angklung SMP tetangga saat aku masih bocah SD. Belakangan ada 'xilofon-xilofonan' milik adik sepupuku yang masih bayi. Bunyinya ya begitu, 'ting-tung-ting-tung-ting'.
Mau dari xilofon asli ataupun xilofon adik bayi, aku tetap menikmati. Apalagi denting xilofon yang dibunyikan untuk mengusir sepi. Apalagi untuk mengusir sepinya hari. Hari-hari yang mengelabui dan juga mengelabukan hati. Meski di lain saat, aku merinding ngeri, karena belakangan bunyi xilofon yang sering mengisi kotak musik, kini sering ditampilkan pula di film-film hantu-hantuan. Aku anti film horor. Dan aku terlalu gemar berimajinasi juga terlalu pandai menyiratkan imaji. Aku terlalu terbayang-bayangi tiap malamnya sesudah aku menonton satu film seram walau sudah lewat delapan minggu sekalipun.
Ada yang bilang xilofon membosankan, bunyinya begitu-begitu saja. Tak akan bisa lebih cantik apabila tidak disertai tabuh-tabuhan lainnya. Bagiku tidak. Sama saja bukan seperti manusia, aku pun begitu. Aku tidak akan pernah merasa cantik sendiri. Aku harus butuh penyerta, yang mengiyakan aku cantik, atau bahkan yang lebih cantik dariku, sehingga mendorongku untuk berusaha lebih cantik lagi.
Sebenarnya aku bukan ingin menceritakan xilofon. Aku ingin bercerita tentang perasaanku.
Keinginanku.
Menjadi cantik.
Sebenarnya aku tidak begitu yakin benarkah keinginanku seperti itu. Menjadi cantik. Dari anak ingusan, menjadi remaja ingusan, dan sekarang aku kurang tahu aku sudah dewasa atau belum; umurku belum genap dua puluh tahun. Namun aku akan tetap ingusan, karena aku alergi dingin dan debu yang sangat sensitif sekali. Bukan, bukan karena aku ingusan aku meragu cantik (meskipun kutahu kau akan mulai memikirkan aku yang ingusan akan nampak seperti apa lalu pasti mengernyit dan bergidik jijik). Aku hanya tidak percaya diri bahwa aku cantik.
Maka, ketika ada seseorang yang bilang kepadaku, aku tak tahu itu bercanda atau pujian, ketika dia bilang "kamu cantik."
Apalagi kalau orang itu berlawanan jenis denganmu. Dan sedikit tampan.
Bohong, sih. Tidak sedikit tampannya.
Serba salah nggak, sih? Ketika kamu tidak yakin kamu cantik atau tidak, lalu ada orang ganteng yang bilang kamu cantik, jujur saja aku makin merasa tidak yakin. Semakin malu. Semakin tidak percaya diri. Meski di lain sisi, aku merasa semakin besar rasa.
Ting-tung-ting-tung-ting
Aku sedang berpura-pura memainkan xilofonku. Bohong. Aku tidak memiliki xilofon. Bohong pula, kalau aku bilang "aku sedang berpura-pura memainkan xilofon" karena aku menggumamkan suara di bibirku menirukan foni dari xilo yang dipukul-pukuli. Sementara hatiku juga bermain-main sendiri, menggumamkan satu nama.
Nama seseorang yang kalau kubilang dia tidak tampan maka aku akan berbohong lagi.
Aku tak mau lagi berbohong. Terutama membohongi diriku, hatiku.
Aku jujur ingin selalu cantik, di matamu.
Hatiku sedang menggumamkan satu nama,
namamu.
No comments:
Post a Comment