21.5.14

Ketiga


Ambillah secarik kertas. Kuminta kau untuk menggambarkan segitiga.
Kamu tahu kan segitiga itu apa? Yang bentuknya bagaimana? Kuanggap kau pintar dan kau tahu.
Dengan segitiga yang kau buat, izinkan aku membaliknya hingga menampakkan segitiga yang terbalik. Hingga menampakkan bentuk wajah laki-laki ini secara kasar.

Laki-laki, si wajah segitiga terbalik. Aku menyukainya, ya, benar-benar menyukainya. Rupawan? Ya! Benar-benar tampan dalam kamus mataku! Dan di dalam kamusku, ketampanan bukan hanya dari wajah atau warna kulit, namun dari perangai dan hal-hal yang diminatinya.
Berkenalan dengannya adalah suatu kesempatan yang bisa kubilang langka, atau mungkin keberuntungan, atau lebih puitis lagi, mungkin ini takdir. Aku tahu dia sejak lama, bukan benar-benar mengenalnya, kok. Tahu wajah, tahu nama, tahu hobi, tahu tempat di mana ia menghabiskan waktu dengan porsi 60% lebih banyak dari tempat lainnya dalam kesehariannya.

Aku tahu dia tanpa dia tahu aku.
Kecuali aku menampakkan diri, dan memberikan isyarat yang sebenarnya aku tidak yakin dapat dikatakan lagi sebagai isyarat; bahwa aku ada, aku ada dan ingin berkenalan dengannya, dan menjalin pertemanan dengannya, aku yakin dia tidak akan bisa kenal aku.
Hingga akhirnya aku menawarkan tanganku terlebih dahulu, mengucapkan namaku.
“Lalu siapa namamu?” lanjutku.
Dia melanjutkan dengan menyebutkan satu nama yang, ya......sebenarnya aku sudah tahu lama.

Satu hari setelah perkenalan, ia yang menyapaku lebih dulu. Selanjutnya kami pergi makan malam. Selanjutnya kami berbincang-bincang begitu seru hingga sanggup menepis angin malam yang mulai menggerutu karena gagal untuk membelai mengantar kami ke alam mimpi. Selanjutnya kami berjalan-jalan, masih di malam yang sama. Lalu duduk. Lalu berjalan. Ketika mulai lelah kami duduk lagi. Di malam itu, aku menemaninya di hampir setiap kegiatannya, bahkan ketika dia cuci tangan, tanpa berani aku balas minta kesediannya untuk menungguiku cuci piring. Meski pada akhirnya tanpa aku meminta, dia pergi juga bersamaku. Malam itu langit cerah, hitam terang, tanpa awan, namun tiada juga bintang-bintang. Malam itu terasa terang karena aku tahu, selain Tuhan dan malaikat pelindungku, ada dirinya yang berjalan sepanjang malam itu.

Kurasa, dia bintangku.

Dua hari setelah perkenalan, ia lagi yang menyapaku lebih dulu. Nyawaku yang masih setengah ada dan tertinggal di alam mimpi membuatku tidak bisa menyimpulkan ekspresi yang bagus di air mukaku. Kurasa, itulah yang membuatnya tersenyum pagi itu. Buru-buru aku pamit undur diri, dengan alasan belum mandi. Membalikkan badan dan memalingkan wajahku darinya adalah salah satu hal sulit lainnya yang agak setara dengan memasukkan jarum ke dalam benang; gampang-gampang tidak.
Masih di hari yang sama, ketika sore menyapa, dan ada hujan yang menerpa. Aku duduk di situ, di bawah atap kayu lebar yang hangat, dalam diam. Kudengar ada deru akhir dari knalpot, dari mesin sepeda motor yang dimatikan, disusul derap orang berlari di atas tanah becek. Itu dia yang datang. Selanjutnya kami melebur dalam kekhusyukkan masing-masing, hingga selesai, lalu kami berbincang-bincang. Hingga matahari sudah lelah dan ingin turun, ketika kumandang adzan mulai berbunyi, ketika air hujan sudah berhenti dan tinggal menyisakan uap air yang berbaur dengan angin dingin malam, ketika kami mulai menunggu ada yang memasak untuk makan malam. Ini adalah kedua kalinya kami makan malam bersama. Di atas satu piring kami makan berdua, hidangan yang sebenarnya membosankan, namun terasa lebih istimewa bagiku, di malam itu.
Seperti sihir, entah mengapa setelah makan malam berakhir, rasanya aku sudah ada di kamarku, tertidur lelap, dalam mimpi yang indah, sementara dia hilang, hilang meninggalkan kegembiraan malam, seperti Putri Cinderella yang berlari lenyap menjauh dari cinta Sang Pangeran yang belum sempat untuk diungkapkan, hingga lupa ada sepatunya yang tertinggal. Sama seperti itu, dia pergi dengan meninggalkan sepenggal rasa yang kian hari kian tumbuh dan berbunga.
Bukan berarti aku tak bertemu lagi dengannya.
Aku sempat datang ke suatu tempat yang tanpa sengaja ada dirinya. Namun sayang, aku hanya sempat melihatnya pergi pulang ketika aku datang, tanpa ia tahu aku datang.

Lalu aku bertemu lagi dengannya. Dalam suatu malam. Malam yang penuh dengan senyuman orang-orang yang ada. Malam yang penuh dengan sajian-sajian santap malam. Ada dansa dan ada sukaria.
Aku tahu malam itu berawan. Malam itu dingin. Anginnya menusuk. Angin yang membawa kesesakkan. Semakin riuh orang-orang berpesta, semakin keras dentuman musik yang melagu, semakin terasa sakit dadaku dipukul-pukul dengan sebuah batu yang besar. Batu yang sama yang membuat satu perempuan hampir menangis, karena menahan sakitnya dipukuli juga. Batu yang membuatku hampir menangis karena melihat perempuan yang hampir menangis, batu yang membuatku hampir menangis karena melihat ada perempuan yang lain lagi yang tersenyum manis bersama yang termanis.

Dia batu itu.

Ambillah secarik kertas baru. Kuminta kau untuk menggambarkan sebuah segitiga. Dari puncak segitiga itu, tariklah garis ke atas dan buatlah satu bintang di ujungnya. Terlihat seperti apa? Pohon natal? Bisa jadi. Seumur hidupku, aku selalu menilai, bahwa pohon natal akan baru terlihat indah dengan kehadiran bintang yang menghiasinya.

Biarlah dia yang indah kutatap, tetap menjadi indah bersama bintangnya. Bintangnya bukanlah aku. Bintangku? Kuharap jangan dia lagi.

Selamat tinggal, wahai batu keras yang kukira engkau adalah bintang! Sesungguhnya, aku menyesal, mengapa pertemuan terakhir kita tidaklah seindah saat aku meratapi punggungmu yang berjalan menjauh tanpa mengajakku makan malam lagi atau sekedar menyapaku? Tidak seindah ketika kamu pergi tanpa tahu aku datang.

Untuk mengetahui bahwa aku harus pergi karena ada yang lain yang datang, rasanya jauh lebih mengerikan.


No comments:

Post a Comment