21.5.14

Pertama


Ada seorang laki-laki. Kami berkenalan tanpa pernah berjabat tangan.  Saya tahu namanya ketika orang-orang memanggilnya, dia tahu nama saya ketika orang-orang memanggil saya, ya, begitulah saja. Di beberapa kesempatan di awal perkenalan, aku sering melihatnya berjalan terburu-buru menuju ke suatu tempat yang aku tahu jelas tujuannya. Aku tak pernah memanggilnya waktu itu. Apalagi dia yang memanggil aku, kurasa melihatku pun tidak. Orangnya baik. Juga lucu. Juga menyebalkan. No offense, but, bukankah semua manusia juga punya sisi-sisi jelek dalam dirinya?

Kembali lagi ke masalah “baik”. Ya, menurut saya dia baik sekali. Kami berkenalan belum lama namun banyak hal yang mau dia bagi bersama saya. Dia baik kepada saya, mengizinkanku untuk tahu isi dari beberapa lembaran hidupnya. Dia baik kepada saya, membangunkanku di pagi hari dengan cengiran bodohnya yang kutahu itu tulus. Dia baik kepada saya, karena dia mengajarkan banyak hal, mulai dari hal-hal berbau budaya, pilihan buku bacaan, channel televisi, musik, bahkan problematika menggoreng kerupuk. Dengan wawasan yang dimilikinya, wawasanku bertambah. Hari-hariku tidaklah lagi sepi. Tidak pernah kami saling diam-diaman, terjebak dalam hening yang dingin, karena kami selalu berceloteh satu sama lain di tiap kesempatan yang kami miliki. Rasanya hangat dan dekat bila kami saling berbicara.
Tapi tunggu, aku pernah diam kepadanya. Setelah tahu, bahwa dia sudah punya pacar. Bahkan tanpa perlu mengklarifikasi, aku  mengklasifikasikan sendiri bahwa hubungan mereka mulai memasuki babak calon suami-istri.

Di salah satu cerita yang dibaginya, ketika ada celah, ada satu sosok nama wanita yang disebutnya.

“Siapa?”
“Pacarku.”

Selanjutnya, di kisah-kisah yang dibaginya, setidaknya nama itu muncul dari ucapannya tiap seminggu sekali. Akan bertambah ketika dia sedang kangen-kangennya dengan kekasihnya. Akan bertambah ketika dia habis jalan-jalan dengan kekasihnya. Bahkan akan bertambah ketika kekasihnya menitipkan salam untukku.
Aku berkenalan dengan pacarnya. Sama seperti aku mengenalnya, aku dan kekasihnya berkenalan tanpa berjabat tangan. Kekasihnya tahu namaku karena orang-orang menyebut dan memanggil aku. Aku tahu namanya karena dia yang bilang padaku di salah satu kisahnya. Sisi burukku yang asli muncul. Aku tidak pernah yakin bahwa pacarnya baik kepadaku, aku tidak yakin apakah aku bersikap baik kepada pacarnya. Aku tidak pernah bisa melepaskan tatapan setengah nanarku saat melihat mereka bersama. Banyak yang menilai mereka serasi namun dengan sombongnya aku selalu mengucap di dalam hati, “Perasaan cantikkan aku, deh.”

Aku tidak tahu ini perasaan macam apa. Yang jelas, ya, tadi itu. Karena kekasihnya, aku diam-diaman dengan dia. Bahkan ketika kekasihnya sedang pergi, dan kesempatan kami untuk berbicara muncul lagi, aku pergi menjauh. Atau aku tetap duduk di tempatku, dia di sampingku, namun mulutku kukunci rapat-rapat. Atau sesekali kukeluarkan kata-kata berarorama sinis dan nanar, sama seperti tatap mataku. Air mukaku yang tak terbendung rupanya mengguratkan ada segaris rasa pilu dengan semua ini.

Tanpa kusadari, tanda-tanda perubahanku yang jelas-jelas lebih nampak terasa daripada perubahan hawa angin yang mengawali pergantian musim, telah dirasakannya. Aku tak tahu jelas, kata apa yang dapat menggambarkan perasaannya itu, karena sampai sekarang dia tidak pernah mengungkapkannya. Yang jelas semua itu tidak enak. Aku tahu tidak enak, aku tahu dia tidak enak dengan sikapku, dan aku tahu bahwa dia tahu aku berperilaku seperti itu karena ada sesuatu. Hingga akhirnya ia yang bergerak lebih dulu, ingin mencairkan batu es yang terlanjur berdiri, yang terbangun entah dari tetesan air mana, yang dibekukan karena dinginnya suatu hal yang tak jelas arah tujuannya. Kami sama-sama tahu tanpa perlu kami berkata-kata. Hatilah yang kini berbicara.

Hingga akhirnya ia benar-benar berbicara kepadaku,

“Kenapa, sih, kamu?”
“Kubilang tidak apa-apa.”
“Tapi, kok, kamu, sedih terus kelihatannya?”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”

Aku bersyukur, karena rupanya dia memang baik. Sama seperti yang kuceritakan di awal, ketika aku melihatnya jalan terburu-buru, dia bukan terburu-buru tapi memang begitu adanya cara dia berjalan. Ketika aku menganggapnya tidak tahu, dia bukan benar-benar tidak tahu tapi memang dia tahu persis bagaimana caranya untuk tahu. Ketika aku menilainya sebagai orang yang baik, rupanya dia bukan benar-benar orang yang seratus persen baik tapi dengan kebaikan hatinya ia mau berusaha menjadi yang terbaik.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti sedia kala. Bedanya? Kini akulah yang berjuang untuk segara menepis apa yang kusebut pilu, apa yang kusiratkan dalam mataku, saat dia bersama kekasihnya. Aku yang menahan khawatir dan rasa rindu, namun meyakinkan diriku, ketika kesempatan itu datang, maka kau dan aku akan berbicara lagi, berbincang-bincang lagi, hingga lupa waktu, asal tidak lupa diri.

Tetaplah begitu, jalani harimu, apa yang kau mau, apa yang ada bersamamu. Biarkan aku saja yang menahan diriku lebih lagi.

No comments:

Post a Comment