Ada seorang laki-laki. Kami berkenalan tanpa pernah berjabat
tangan. Saya tahu namanya ketika
orang-orang memanggilnya, dia tahu nama saya ketika orang-orang memanggil saya,
ya, begitulah saja. Di beberapa kesempatan di awal perkenalan, aku sering
melihatnya berjalan terburu-buru menuju ke suatu tempat yang aku tahu jelas
tujuannya. Aku tak pernah memanggilnya waktu itu. Apalagi dia yang memanggil
aku, kurasa melihatku pun tidak. Orangnya baik. Juga lucu. Juga menyebalkan. No
offense, but, bukankah semua manusia juga punya sisi-sisi jelek dalam dirinya?
Kembali lagi ke masalah “baik”. Ya, menurut saya dia baik
sekali. Kami berkenalan belum lama namun banyak hal yang mau dia bagi bersama
saya. Dia baik kepada saya, mengizinkanku untuk tahu isi dari beberapa lembaran
hidupnya. Dia baik kepada saya, membangunkanku di pagi hari dengan cengiran
bodohnya yang kutahu itu tulus. Dia baik kepada saya, karena dia mengajarkan
banyak hal, mulai dari hal-hal berbau budaya, pilihan buku bacaan, channel
televisi, musik, bahkan problematika menggoreng kerupuk. Dengan wawasan yang
dimilikinya, wawasanku bertambah. Hari-hariku tidaklah lagi sepi. Tidak pernah
kami saling diam-diaman, terjebak dalam hening yang dingin, karena kami selalu
berceloteh satu sama lain di tiap kesempatan yang kami miliki. Rasanya hangat
dan dekat bila kami saling berbicara.
Tapi tunggu, aku pernah diam kepadanya. Setelah tahu, bahwa
dia sudah punya pacar. Bahkan tanpa perlu mengklarifikasi, aku mengklasifikasikan sendiri bahwa hubungan
mereka mulai memasuki babak calon suami-istri.
Di salah satu cerita yang dibaginya, ketika ada celah, ada
satu sosok nama wanita yang disebutnya.
“Siapa?”
“Pacarku.”
Selanjutnya, di kisah-kisah yang dibaginya, setidaknya nama
itu muncul dari ucapannya tiap seminggu sekali. Akan bertambah ketika dia
sedang kangen-kangennya dengan kekasihnya. Akan bertambah ketika dia habis
jalan-jalan dengan kekasihnya. Bahkan akan bertambah ketika kekasihnya
menitipkan salam untukku.
Aku berkenalan dengan pacarnya. Sama seperti aku
mengenalnya, aku dan kekasihnya berkenalan tanpa berjabat tangan. Kekasihnya
tahu namaku karena orang-orang menyebut dan memanggil aku. Aku tahu namanya
karena dia yang bilang padaku di salah satu kisahnya. Sisi burukku yang asli
muncul. Aku tidak pernah yakin bahwa pacarnya baik kepadaku, aku tidak yakin
apakah aku bersikap baik kepada pacarnya. Aku tidak pernah bisa melepaskan
tatapan setengah nanarku saat melihat mereka bersama. Banyak yang menilai mereka
serasi namun dengan sombongnya aku selalu mengucap di dalam hati, “Perasaan
cantikkan aku, deh.”
Aku tidak tahu ini perasaan macam apa. Yang jelas, ya, tadi
itu. Karena kekasihnya, aku diam-diaman dengan dia. Bahkan ketika kekasihnya
sedang pergi, dan kesempatan kami untuk berbicara muncul lagi, aku pergi
menjauh. Atau aku tetap duduk di tempatku, dia di sampingku, namun mulutku
kukunci rapat-rapat. Atau sesekali kukeluarkan kata-kata berarorama sinis dan
nanar, sama seperti tatap mataku. Air mukaku yang tak terbendung rupanya
mengguratkan ada segaris rasa pilu dengan semua ini.
Tanpa kusadari, tanda-tanda perubahanku yang jelas-jelas
lebih nampak terasa daripada perubahan hawa angin yang mengawali pergantian
musim, telah dirasakannya. Aku tak tahu jelas, kata apa yang dapat
menggambarkan perasaannya itu, karena sampai sekarang dia tidak pernah
mengungkapkannya. Yang jelas semua itu tidak enak. Aku tahu tidak enak, aku
tahu dia tidak enak dengan sikapku, dan aku tahu bahwa dia tahu aku berperilaku
seperti itu karena ada sesuatu. Hingga akhirnya ia yang bergerak lebih dulu,
ingin mencairkan batu es yang terlanjur berdiri, yang terbangun entah dari
tetesan air mana, yang dibekukan karena dinginnya suatu hal yang tak jelas arah
tujuannya. Kami sama-sama tahu tanpa perlu kami berkata-kata. Hatilah yang kini
berbicara.
Hingga akhirnya ia benar-benar berbicara kepadaku,
“Kenapa, sih, kamu?”
“Kubilang tidak apa-apa.”
“Tapi, kok, kamu, sedih terus kelihatannya?”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”
Aku bersyukur, karena rupanya dia memang baik. Sama seperti
yang kuceritakan di awal, ketika aku melihatnya jalan terburu-buru, dia bukan
terburu-buru tapi memang begitu adanya cara dia berjalan. Ketika aku
menganggapnya tidak tahu, dia bukan benar-benar tidak tahu tapi memang dia tahu
persis bagaimana caranya untuk tahu. Ketika aku menilainya sebagai orang yang
baik, rupanya dia bukan benar-benar orang yang seratus persen baik tapi dengan
kebaikan hatinya ia mau berusaha menjadi yang terbaik.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti sedia kala. Bedanya?
Kini akulah yang berjuang untuk segara menepis apa yang kusebut pilu, apa yang
kusiratkan dalam mataku, saat dia bersama kekasihnya. Aku yang menahan khawatir
dan rasa rindu, namun meyakinkan diriku, ketika kesempatan itu datang, maka kau
dan aku akan berbicara lagi, berbincang-bincang lagi, hingga lupa waktu, asal
tidak lupa diri.
Tetaplah begitu, jalani harimu, apa yang kau mau, apa yang
ada bersamamu. Biarkan aku saja yang menahan diriku lebih lagi.
No comments:
Post a Comment