Pada bagian yang terakhir ini, saya ingin bercerita tentang Purworejo berdasarkan sudut pandang saya sendiri.
Purworejo itu bukan kota mati tapi sepi. Hidup tapi tak ramai. Mungkin saya mau bilang kota yang tahu diri: tahu kapan harus bangun, tahu kapan harus terlelap, tahu bagaimana harus menikmati udara pagi yang sejuk, cerahnya siang, sore yang yang syahdu, dan malam yang dingin namun tetap temaram. Nggak ada macet. Sopan. Suka deh.
Menurut Zakki sendiri, Purworejo adalah kota yang paling cocok untuk dinikmati di masa tua.
"Cocok untuk menikmati masa pensiun, Fan," begitulah pendapatnya.
Berkeliling kota ini saat ngabuburit bersama Zakki mengingatkanku pada Cimahi lantaran melihat bangunan-bangunan kolonial Belanda: baik gedung pertemuan, gereja, sekolahan, rumah penduduk, maupun rumah-rumah dinas tentara. Di Purworejo juga ada jajanan khas yang mirip cirengnya Cimahi, namanya geblek. Apa gebleg? Pokoknya 'e' yang pertama itu diucapkan sebagai 'e' pada kata 'empat' sementara 'e' yang terakhir seperti pada kata 'lele'. Aci aci juga sih bahan dasarnya, namun bentuknya seperti angka delapan dan polos tanpa daun bawang. Imut-imut mengembang rupanya. Dimakan dengan bumbu kacang yang manis - nah Jawa banget kan.
Di Purworejo pun aku juga berkesempatan jajan di tepi alun-alun hehe yang dimakan adalah sate semacam chicken nugget, sosis, dan kawan-kawannya yang yaampun murahnya bok! 2000 rupiah dapat 3 tusuk. ***tepuk tangan ala-ala Joe Taslim di sticker-nyaLINEId*** Lagi-lagi, disuguhkan dengan saus kacang yang manis, hmmmm.
Purworejo juga sudah memiliki tempat tongkrongan 'kekinian', 'instagramable', apapun itu yang bisa bikin kamu kece untuk check in di Path kok! Saya dan Zakki menyempatkan untuk mampir ke salah satu tempat yang seperti itu dan harganya bikin saya nggak mau balik ke ibukota.
![]() |
Ini Zakki waktu tiba-tiba terkena malarindu dengan teman-teman KonfAna Bobo 2005 plus menyadari setelah malam ini habis sudah teman KonfAna-nya untuk berlibur |
![]() |
Nyari apa, Mbak? Nganu, nyari Vscocam buat edit foto buat upload IG! |
Oleh-oleh yang Purworejo banget menurut saya mungkin Kue SATU. Nggak tahu sih ini kue apaan tapi rasanya lucu; nggak terlalu bikin pengen nambah tapi kalau lagi laper ya dimakan aja, iseng-iseng aja ngemutin ini kue. Yhak, teksturnya keras, not recommended buat mbah-mbah atau buat kamu (dan aku) yang giginya sensitif dan goyang semua dan tidak kokoh dan sulit makan panganan bertekstur alot.
![]() |
Eh ketemu Oim (teman satu kelas di Fisioterapi UI 13) yang (bela-belain) bawain Kue SATU |
Kalau saya nggak ke Purworejo, mungkin saya nggak pernah tahu bahwa W.R. Supratman ini asalnya dari Purworejo! Nah sekarang sudah tahu dan berhasil menambah kekepoan saya untuk menelusuri kota ini lebih lagi. Sayang karena keterbatasan waktu, saya tidak bisa berlama-lama di kota ini.
![]() |
Foto dulu di tugunya W.R. Supratman |
![]() |
Tugunya ada di tengah-tengah persimpangan jalan. Fix bikin bingung orang-orang Purworejo. "Kok alay ngono tho?" Maklumin, Mas, Mbak, anak norak. |
3 hari di sini sungguh tak terlupa dan sukses bikin saya kangen banget sama kota ini. Masih penasaran untuk sepedahan berkeliling kota (Zakki mana mau, capek katanya - tapi pakai alasan "sepedanya cuma satu kok!" juga sih hihihi) maupun jogging pagi di sini! Ingin deh stay seminggu-dua minggu supaya saya bisa sekalian belajar Bahasa Jawa dan lancar bercakap-cakap Jawa-nya hoho. Sampai-sampai Sari (teman dari KMK UI, FKG UI 2013) yang orang Purworejo mengirim pesan via Whatsapp:
"Kudoakan kamu dapet suami orang Purworejo, biar tiap mudik ke sini."
Super sekali, Sar, doanya.
Nah, selanjutnya dari Purworejo saya terus ke Bandung by train **tuuuut....tuuuut.....**
Perpisahan saya kepada Purworejo resmi disaksikan oleh peron di Stasiun Kutoarjo.
Pareng, nggih!
---bersambung---
No comments:
Post a Comment